Menulis kembali di blog ini
adalah nostalgia!
Siapa yang tak suka
bernostalgia? Bahkan kenangan buruk di masa lalu bisa menjadi kisah seru dan
lucu jika diingat sekarang, apalgi kenangan yang indah. Teman masa kecil,
permainan tradisional di desa, lagu yang sering diputar di radio, film kartun
Indosiar yang selalu ditunggu di Minggu pagi, hingga makanan yang rela dibeli
dengan menempuh ratusan meter jalan kaki dan berhari-hari menabung (Ok, dalam kasus saya ini Nyam Nyam, di
awal 90-an hanya sedikit yang menjualnya di Desa Penglatan).
Winspector dan robot kuning yang bisa jadi motor! |
Nostalgia pula yang membuat
Padi Reborn sanggup membius ribuan penonton di Soundrenaline 2018 meski setelah
vakum 7 tahun dari belantika musik Indonesia dengan nama band Padi. Lagu demi lagu
andalan yang dibawakan fasih dinyanyikan oleh seluruh penonton, yang meski lupa
tanggal jadian atau bahkan hari itu tanggal berapa, tapi ingat lirik lagu yang
populer di era 1999 hingga 2000-an. "Tetaplah menjadi bintang di langit agar cinta kita akan abadiii..."
Sebagai sebuah brand, sebuah produk, Padi telah menjalani siklusnya, mulai dari pengenalan di tahun 1999 melalui album pertamanya, pertumbuhan jumlah penggemar (fame and fortune baby, fame and fortune!), tahap kedewasaan atau kematangan (jadwal manggung padat hingga bisa lebih dari 1 tempat dalam sehari), hingga yang tak bisa dihindari pun terjadi: penurunan popularitas. Secara teori ekonomi hal ini disebut dengan Daur Hidup Produk (product life cycle). Jika manusia mengalami tahap penurunan karena usia tua dan kematian, demikian halnya produk (apalagi produk yang berkaitan dengan manusia). Bisa jadi penurunan terjadi karena usia personilnya yang tak lagi mampu mengimbangi image produk di awal (Seperti Super Junior yang tak akan selalu junior), kejenuhan personilnya (kasus ekstrim bahkan kejenuhan akan popularitas bisa berujung depresi, penggunaan obat terlarang, dan bunuh diri. RIP all those rock band superstars), kejenuhan pasar atau penggemarnya, hingga kalah bersaing dengan produk lain.
Meski telah mencapai tahap
akhir siklusnya, Padi mampu ‘hidup’ kembali dengan melakukan pergantian nama
(untuk produk lain bisa jadi melakukan repackage,
remasterred, remake, facelift, dan sebagainya) dengan mengambil momentum
nostalgia. Fans Padi yang dulunya anak-anak, kini telah tumbuh menjadi kalangan
pekerja yang tentu sanggup untuk membeli tiket konser sekaligus mengajak teman
dan keluarganya. Jangan heran jika harga konser artis lawas seperti Sir Paul McCartney dan Celine Dion sangat mahal, karena mereka memiliki basis penggemar kalangan senior yang telah memiliki cukup uang dan sejuta kenangan. Momentum nostalgia pula yang dimanfaatkan Hollywood dalam
membuat film sehingga mampu meraup pendapatan, selain dari segmen usia yang
dituju juga dari kalangan middle age
yang akan bernostalgia, untuk menonton film seperti Jurassic World, Star Wars,
The Magnificent Seven, hingga The Predator yang saat ini sedang tayang di
bioskop.
Nuansa masa lalu disisipkan
dalam film baru melalui cuplikan adegan film lama yang iconic atau pemeran yang sama muncul kembali sebagai cameo atau bahkan hanya musik pengiring
yang sama seperti ketika Darth Vader muncul di film Star Wars IV (1977) dengan
Rogue One (2016), sudah sangat nostalgic!
(di industri film lokal juga sama, contohnya Warkop DKI Reborn yang membawa
nuansa kental serial Warkop DKI lama). Saya mengalami sendiri ketika menonton
Ready Player One di bioskop Mataram, sebagian penonton sudah berusia lebih 30 tahun,
bersorak dan bertepuk tangan ketika film usai, karena memang film tersebut seperti
didedikasikan untuk kami yang hidup di tahun 80-an hingga 90-an.
Sebuah scene, banyak nostalgia. Ready Player One! |
Jadi ingat waktu kecil dulu
menonton acara Tembang Kenangan di Indosiar dan melihat Opa Oma penonton akan
tersenyum, tertawa, dan berdansa bersama diiringi lagu-lagu lama era 60-an 70-an
(dan di akhir acara mengumpulkan donasi yang besar). Sel-sel abu-abu di kepala
mereka tentu sedang bernostalgia mengenang masa lalu yang indah (meski nyatanya
kehidupan muda mereka keras, penuh perjuangan, dan tak selalu indah). Saya
tidak akan heran jika 20-30 tahun nanti saya akan tersenyum, tertawa, dan
berdansa ketika mendengar lagu Linkin Park dan Martin Garrix dimainkan.
No comments:
Post a Comment