Manusia berencana Tuhan
menentukan
“Resmi,
Pemerintah menambah cuti bersama Lebaran 2018.” Headline berita itulah yang saya tunggu-tunggu bulan lalu, membuat
tahun ini menjadi liburan terpanjang dengan total 12 hari! Berbagai ide liburan
berkelebat di kepala, mengingat mudik ke kampung halaman (yang cuma dari Lombok
ke Bali) tak perlu waktu selama itu. Ingin ke Sumba tapi biayanya terlalu mahal
untuk sendiri, akhirnya memutuskan ke Flores lagi (sebelumnya pernah Phinisi
Trip 6D5N dari Lombok-Labuan Bajo-Lombok di 2015, dan liburan ke Maumere-Ende
tahun 2017). Sebagai PNS di DJP, kami tersebar nyaris di seluruh pelosok negeri
termasuk di Ruteng, kota terdekat menuju ke Waerebo. Ya, Waerebo! Desa
misterius di atas awan yang mendapat penghargaan dari UNESCO-PBB, bukan main!
Rencana
tersusun, dengan nantinya trip ke
Waerebo tanggal 9-11 Juni 2018 bersama sahabat yang bertugas di Ruteng (sebut
saja Wima) karena kebetulan dia baru mudik tanggal 12 Juni. Tiket berangkat terbeli:
Lombok ke Labuan Bajo 9 Juni pagi, sampai di Labuan Bajo sekitar pukul 2 siang
lalu lanjut dengan travel Gunung Mas dari bandara ke Ruteng. Tiket kembali tak
terbeli: terlalu mahal! Harga tiket kembali ternyata tak beda jauh dengan paket
Phinisi Trip dari Labuan Bajo ke Lombok 3D2N (menggunakan perusahaan yang sama
dengan 3 tahun lalu, bahkan ownernya masih
ingat dengan saya, awww), berhubung
liburnya lama jadi saya memilih berlayar sekalian mengunjungi pantai-pantai
indah di Sunda Kecil. Sebelum berangkat saya juga rutin membaca tentang Waerebo
dan menemukan fakta penting (setidaknya bagi saya) di salah satu blog bahwa
jalur treking berupa tanah becek dan banyak lintahnya! Penulis blog itu
menyarankan agar tidak memakai sendal gunung, lebih baik menggunakan sepatu
gunung dan kaus kaki tinggi. Demi Waerebo (demi tidak digigiti lintah tepatnya),
saya membeli sepatu gunung pertama dalam hidup (meski murahan, hihihi). Rencana tersusun-siap liburan,
hingga akhirnya beberapa hari sebelum berangkat Wima memberitahu bahwa dia
harus mudik lebih awal. Nah lho!
Terpikir bahwa belum jodoh ke Waerebo dan hendak reschedule tiket, tapi Wima meyakinkan untuk tetap berangkat
sendiri (“sudah di Flores, sayang banget
ga ke Waerebo Je! Suasana sore hari
di sana tak terlupakan!”), nanti dia akan menitipkan kunci kost dan kunci
motornya di kantor. Setelah berpikir, menimbang, menghitung, akhirnya: Oke Sip Lets Go!
Matahari cuma bersinar 2 jam di Ruteng
Seperti
biasa penerbangan ke Flores menyenangkan, pulau-pulau kecil kecoklatan dengan
pantai berwarna tosca menghiasi perjalanan (pilih duduk di jendela ya, sebelah
kanan pesawat). Sampai di Bandara Komodo Labuan Bajo sekitar pukul 2 siang,
segera menghubungi travel Gunung Mas untuk berangkat pukul 3 sore ke Ruteng (harganya
Rp110 ribu dan kursinya legaa) dan
untungnya belum penuh! Oya, begitu keluar dari Bandara akan banyak orang yang
menawari jasa travel ke Ruteng (sebagian besar dengan mobil Avansa), berhubung
ini perdana saya tak berani mencoba-coba (meski ditawari harga lebih murah) dan
bersikeras ke orang-orang bahwa saya sudah dipesankan travel oleh teman dan
tidak enak kalau dibatalkan (boong dikit,
abis bapak-bapaknya rada maksa). Oya, bagi yang perutnya lemah sebaiknya
berbekal Antimo sebelum berangkat, karena perjalanan ke Ruteng melalui jalan
meliuk-liuk yang bisa menguji iman, saya sendiri yang terbiasa dengan jalan
seperti itu di Singaraja tetap merasakan tidak nyaman ketika ada penumpang yang
muntah-muntah di mobil.
Selamat datang di Ruteng! |
Ruteng
hanya berjarak sekitar 3 jam perjalanan dari Labuan Bajo tapi begitu kontras,
apabila di Labuan Bajo begitu panas dan gersang, maka begitu mendekati Ruteng
suasana langsung mendung dengan banyak sawah, hutan, dan dingin! Sampai di
kantornya Wima di Ruteng, bertemu dengan anak baru (sebut saja Damar) yang
memang tak mudik dan ingin turut serta ke Waerebo, dan setelah bertanya-tanya
tentang rute dan medan menuju Waerebo ke putra asli Ruteng (sebut saja Haris)
memutuskan bahwa harus berangkat 10 Juni pagi-pagi karena harus menempuh
perjalanan motor sekitar 3 jam dan treking sekitar 3 jam, dan harus sampai di
puncak sebelum pukul 6 sore. Tantangan kesekian dari perjalanan kali ini
adalah: Mandi malam dan mandi pagi di Ruteng! Airnya memang sedingin es!
Untungnya saat itu Ruteng katanya sedang tak terlalu dingin, jadi saya mampu
mandi pukul 11 malam (dengan super menggigil badai) dan esoknya pukul 6 pagi
(persiapan menginap di Waerebo yang mungkin saja bakal tak bisa mandi di sana, ya Ruteng saja dingin begini apalagi di atas
bukit sana!)
Beauty in the beast
Minggu
pagi di Ruteng begitu syahdu, udara begitu segar, pemandangan sawah-sawah di
kiri-kanan jalan, dan warga yang berduyun-duyun berjalan kaki menggunakan
pakaian terbaiknya menuju gereja, ciamik! Kami memilih berangkat melalui jalur
Lembor, melewati persawahan Cancar (sayangnya tak sempat berfoto dengan sawah
ikonik serupa sarang laba-laba itu, hiks)
dengan dibantu Gmaps dan kemampuan cemerlang Damar menghapal peta (kalau
berangkat sendiri yakin deh saya
bakal sering turun dan tanya warga karena ternyata sepanjang jalan banyak
persimpangan! Dengan sinyal Gmaps tak selalu bagus). Setelah 1 jam perjalanan,
medan yang dilalui mulai makin menantang dengan kondisi jalan beraspal yang
rusak, dan puncaknya adalah jalan tanah dengan batu-batu besar terpasang
menjulang! Rusaknya jalan ke Pantai Pink Lombok tak ada apa-apanya! Selama
beberapa kilometer kami harus melaju sangat pelan karena motor susah
dikendalikan, disamping ban beberapa kali selip di bebatuan dan harus turun
dari boncengan ketika di tanjakan. Untungnya saat itu tidak hujan (kemudian
hari saya bertemu teman yang ke Waerebo malam hari gelap gulita dan hujan,
berkendara motor 10 jam dari Labuan Bajo! Dashyat! Apa tak jadi bubur tu punggung).
Sawahnya ciamik! |
Tebing, sawah di lembah, sawah di atas, sungai, kompliit |
Melintasi pesisir pantai berbatu pula |
Setelah
jalan menembus perbukitan, kami kemudian menyusuri pantai, kemudian naik
kembali ke perbukitan, dengan sawah yang makin indah menghiasi selama
perjalanan. Pukul 11.30, setelah menempuh perjalanan sekitar 4 jam kami sampai
di Desa Denge, perhentian terakhir sebelum treking ke Waerebo (dengan beberapa
kali kami mempertanyakan apa kabar
utusan PBB melewati medan perjalanan tadi, apa
ga pegal linu badannya). Kami berkunjung ke tourist information untuk petunjuk jalan dan sekaligus makan siang
(lutut sudah gemetar karena tak sarapan). Dengan bangga Pak Blasius menyatakan
bahwa mantan murid SD-nya bernama Haris sekarang telah sukses menjadi PNS di
Ruteng (kami meminta petunjuk ke orang yang tepat), selain menjelaskan sekilas
tentang Waerebo, bahwa kami harus langsung menuju rumah adat di tengah-yang
terpasang tanduk kerbau di atasnya, untuk meminta ijin, sebelum mulai
berfoto-foto. Selain itu beliau menawarkan untuk menitipkan helm karena lokasi
parkir di tengah hutan tak ada yang menjaga. Perut terisi, helm aman, saatnya
kami treking! Tapi sebelumnya berkendara sekitar 15 menit sampai ke parkiran yang
memang benar di tengah hutan, hanya ada beberapa tukang ojek yang terlihat di
sekitar lokasi (jalan menuju parkiran motor pun agak menantang, jadi
kesimpulannya untuk berkendara sendiri ke Waerebo skill bermotornya harus sudah terasah dulu ya).
menu makan siang di Pak Blasius @Rp35 ribu |
parkiran motor seadanya |
berfoto sekaligus rehat treking |
Jalan
menuju Waerebo cuma satu, jadi ikuti saja jalan setapak yang telah ada, berupa
jalan tanah menembus hutan dan memang becek dan licin (untungnya telah pakai
sepatu gunung!). Satu jam pertama treking jalan menanjak tanpa henti, jadi
sebaiknya berjalan santai saja tak usah dipaksakan, udara dingin membantu
meringankan perjalanan dengan beberapa kali kabut menyelimuti jalan. Satu jam
berikutnya medan lebih mudah karena tak lagi terlalu menanjak, bahkan 30 menit
terakhir jalanan menurun (tinggi maksimal bukit 1700 mdpl, sementara Waerebo
terletak di sekitar 1100 mdpl), dedaunan pohon semakin rindang, dan tiba-tiba
terhampar pemandangan ajaib di depan mata: Waerebo!
Negeri di Awan: Waerebo
Rumah
adat Waerebo yang bernama Mbaru Niang (berarti rumah kerucut) berdiri kokoh di
dataran satu-satunya di sana, dengan bukit tinggi membentengi di sekelilingnya
serta awan yang selalu setia mengintip setiap saat. Terdapat 7 Mbaru Niang
(serta 1 Mbaru Niang tambahan yang khusus untuk tamu apabila ketujuh rumah
penuh) yang berkumpul, serta beberapa Mbaru Niang tersebar di perbukitan. Mbaru
Niang merupakan rumah adat masyarakat Manggarai, tapi seiring kemajuan jaman
kemudian ditinggalkan dengan rumah modern, dan di Waerebo adalah tempat di mana
Mbaru Niang ditinggali dan digunakan sehari-hari (operasional tak hanya sebagai
monumen). Dalam satu Mbaru Niang sanggup menampung 6 KK (kecuali di Mbaru Niang
tempat pimpinan-yang ada tanduk kerbaunya, sanggup menampung 8 KK) atau bisa
menampung menginap hingga 40 orang dewasa.
Sesuai
petunjuk Pak Blasius, kami langsung menuju rumah utama dan disambut oleh
pimpinan adat Bapak Rafael Niwang yang katanya usianya 93 tahun tapi masih
sangat sehat! Beliau dapat berbicara Bahasa Indonesia meski lebih sering
berbahasa daerah. Kami ditanyai asal darimana, kami jawab dari Denpasar dan
dari Yogyakarta, kemudian beliau kembali bertanya,
Rafael:
“Ada barita?”
Saya
memandang Damar kebingungan, dan menyimpulkan ‘Oh, mungkin karena beliau hidup terpencil, ingin menanyakan berita
apa di luar sana’, jadi saya menjawab
“Tidak
ada barita baru Bapak, semua baik-baik saja.”
Nah
di sini momen ketika wajah Pak Rafael yang kebingungan, mungkin dia berpikir ‘ni bujang-bujang kedinginan kali ya otaknya
ga jalan’.
Rafael:
“Barita. Barita sekadarnya untuk
mendoakan Denpasar dan Yogya.”
Akhirnya
otak beku saya sedikit mengencer dan mengerti yang dimaksud adalah sumbangan
seikhlasnya sebagai syarat didoakan memasuki Waerebo (sebenarnya telah
dijelaskan Pak Blasius, untuk 1-2 orang Rp20 ribu, selebihnya Rp50 ribu).
Dengan malu-malu karena salah paham tadi, saya memberikan Rp50 ribu dan
kemudian Bapak Rafael memulai ritual doa dalam bahasa daerah, yang kalau saya
terawang maknanya adalah kami ini warga Denpasar dan Yogya selama berada di sana
telah menjadi warga Waerebo. Kemudian beliau mengijinkan kami menuju rumah
khusus tamu untuk beristirahat (rumah adat bagi tamu adalah rumah pertama
begitu masuk ke Waerebo, tapi ketika ramai seperti saat 17 Agustus dan Upacara
Adat Penti di November, pengunjung bisa sampai ratusan orang sehari, maka semua
rumah adat-kecuali rumah pimpinan adat, digunakan untuk menerima tamu menginap)
dan disambut oleh Michael, anak muda yang menjabat sebagai manajer di Waerebo.
Michael fasih berbicara berbagai bahasa, katanya belajar otodidak dari
pengunjung Waerebo, padahal usianya baru 22 tahun dan terakhir hanya bersekolah
hingga SMA.
Ternyata
di dalam Mbaru Niang sangat lapang, mungkin karena tak ada meubelair, hanya
semacam aula melingkar dengan kasur berjajar melingkar dan dudukan untuk makan
terletak di tengah. Penerangan di Waerebo berasal dari panel listrik tenaga
surya (meski saya heran, karena selama di sana tak sampai 30 menit Matahari
bersinar sehari) dengan dibantu tenaga genset solar. Tak ada PLN, tak ada PDAM,
tak ada sinyal dan wifi, tapi ada pemandangan super indah dan disediakan pula
kartu remi dan Uno untuk sekedar mengisi waktu malam. Hari itu terdapat 17
orang menginap, dengan kami berdua datang paling pertama sekitar pukul 2 siang.
Sejak pukul 3 hingga 5 sore kami berdua hanya duduk di halaman memandangi
indahnya Waerebo, sambil mengambil foto, kadang membaca novel, tapi sebagian
besar kami hanya melamun. Ada momen ketika seluruh Mbaru Niang tak terlihat
karena diselimuti awan, tapi momen berikutnya jelas kembali. Benar kata Wima,
momen sore di Waerebo ini luar biasa!
tadi cerah, tiba-tiba berkabut total, eh awan |
Hidup bersama awan-awan
(Berikutnya
sebagian besar berdasarkan penuturan Michael) Penduduk Waerebo masih memegang
teguh adat dan cara hidup tradisional mereka, meski juga beradaptasi dengan
kemajuan jaman. Dengan dibantu beberapa yayasan, pengelolaan wisata terbilang
rapi sampai ada jabatan manajernya pula. Wanita-wanita Waerebo membuat kain
songket di waktu luang dan dijual bagi pengunjung, harganya untuk ukuran sarung
Rp450 ribu, untuk ukuran lebih kecil lebih murah lagi (jadi sebelum berangkat
siapkan uang, tak ada ATM sejauh mata memandang). Uang tersebut akan digunakan
untuk kebutuhan sehari-hari seperti biaya sekolah anak-anaknya. Lha, anaknya
sekolah dimana? Ternyata penduduk Waerebo memiliki kampung di lembah bernama
Kombo, setiap warga Waerebo memiliki rumah di Kombo sekaligus sawah, sementara
di Waerebo mereka berkebun kopi dan tinggal bersama-sama keluarga lainnya dalam
satu Mbaru Niang. Ketika anaknya memasuki usia 7 tahun, mereka akan dikirim
untuk tinggal sendiri di Kombo supaya bisa bersekolah. Sejak usia 7 tahun anak
Waerebo harus bisa hidup sendiri, belajar sendiri, mencuci baju sendiri, dan
masak sendiri (bahkan ada yang dibekali orang tuanya padi dan gabah! Jadi
mereka harus memecah berasnya sendiri sebelum bisa dimasak, cadas!). Tak heran
di Waerebo kami hanya menemui banyak balita dan orang-orang tua.
Selamat datang di Waerebo, kaka! |
Oya,
bagi para pengunjung sebaiknya tak memberikan apapun ke anak-anak di Waerebo
meskipun mereka terlihat lucu dan menggemaskan, katanya apabila terbiasa diberi
oleh turis (yang besar seperti uang, buku, hingga yang remeh macam sebiji
permen) akan membuat mental peminta-minta. Apabila ingin menyumbangkan uang
atau buku sebaiknya melalui Michael dan nanti akan disalurkan ke anak-anak.
Saya yang sedang asyik foto-foto pun tak lepas dari keceriaan mereka, serta
merta kamera dipinjam katanya mereka ingin foto temennya sendiri sembari ketawa
ketiwi. Seperti anak-anak pada umumnya, mereka senang melihat hasil foto
dirinya di kamera atau di HP (eh
orang dewasa juga kayak gini ya, hihihi..) Apabila menginap di
Waerebo, siapkan uang Rp325 ribu per orang (menginap serta makan 3 kali),
apabila hanya bertamu maka Rp200 ribu termasuk makan siang.
Menggunakan sarung songket asli Waerebo |
Waktu
menunjukkan pukul 7 malam dan saatnya makan malam. Kami berkumpul di tengah
rumah dan makanan disajikan: Daging ayam rebus bumbu kuning, sayur labu dan
daun singkong (mungkin), dan nasi hangat. Makanannya enak! Sederhana tapi enak banget! Ada sambal pula, cabe dicampur
bawang, itu juga endes! Selepas puas
makan, ada yang bermain kartu, ada yang baca novel, ada yang sekedar ngobrol, tapi begitu keluar Mbaru Niang,
brrr duingin! Tak terlihat apa-apa
hanya terlihat kabut pekat. Begini rasanya hidup bersama awan. Saya sendiri
membeli sebuah sarung dan menggunakannya langsung, dan memang ampuh menolak
udara dingin. Michael mengingatkan bahwa pukul 10 malam semua lampu akan
dimatikan, jadi sebaiknya kami sudah selesai semua urusan termasuk mandi. Ya,
mandi! Terdapat 3 kamar mandi untuk tamu, telah berlantai keramik dengan air
jernih dan dingin tentunya. Saya sendiri tidak mandi karena tidak membawa
handuk, tapi rasaya tak terlalu berkeringat, anggap sudah dimandikan awan
selama nongkrong di Waerebo. Oh, kopi
dan teh selalu tersedia di rumah, jangan malu untuk meminta ke Michael apabila
kehabisan atau ingin meminta air panas untuk membuat popmie. Tidurpun nyaman karena kasurnya lumayan empuk (berupa kapuk
yang dibungkus daun pandan, rasanya) serta diberikan bantal dan selimut tebal
per orang.
makan malam bersama pengunjung lain |
main Uno pengisi waktu malam |
sarapan biar kuat treking lagi |
Naluri
tukang foto membuat saya beberapa kali melihat ke luar rumah berharap langit
cerah untuk foto bintang-bintang, apa daya hari itu sangat berkabut, bahkan
hingga esok harinya. Katanya memang sangat jarang bisa melihat bintang di
Waerebo ketika malam hari. Esok paginya kami bisa melihat aktivitas warga
memulai hari, mulai dari menjemur kopi hingga berangkat ke kebun. Sarapan
dihidangkan pukul 7 pagi, menu kali ini: nasi kuning gurih, telor rebus, dan
kerupuk. Lagi-lagi, enak! Nasi kuningnya saja sudah sangat pulen dan gurih.
Selepas sarapan kami diijinkan langsung meninggalkan Waerebo, tak perlu ada
upacara adat atau apapun lagi, selain membayar biaya menginap tentunya. Jadi
setelah sarapan, kami beberes dan berat rasanya melangkahkan kaki untuk
meninggalkan desa cantik ini (berat juga karena 30 menit pertama jalanannya
menanjak). Perjalanan kembali lebih menantang, karena jalanan menurun dan licin
membuat kami beberapa kali terpeleset. Setelah 1,5 jam, kami sampai di parkiran
dan bernafas lega melihat motor masih terparkir rapi. Saya pun bernafas lega
karena tak melihat satu lintahpun dalam treking Waerebo ini. Tepat di dekat
parkiran terdapat sungai yang berair sangat jernih, disana kami membasuh muka
dan sepatu yang telah dipenuhi lumpur tebal, kemudian melanjutkan perjalanan
panjang kembali menuju Ruteng.
view selama treking |
jalannya licin dan berlumpur |
sungai jernih dan segar, with lil surprise |
Buka mata, nikmatilah perjalanan!
Karena
kami merasa begitu mengenal jalan, kami berkendara tanpa dibantu Gmaps menuju
Ruteng, tak lupa berhenti sebentar di pesisir pantai untuk update sosmed karena sinyal 3G pertama kali ada di sana. Saat
memeriksa HP itulah saya baru sadar bahwa ada seekor lintah gendut yang melekat
di dekat jempol tangan! Lintah itu pasti sudah melekat selama 30 menit sejak di
sungai parkiran motor! Dengan mudah saya sentil lindah itu dari tangan, dan
meski darah susah berhenti, tidak ada perasaan gatal, tidak ada bentol, tak
seperti setelah digigit nyamuk atau kutu busuk. Hei, digigit lintah tak seburuk
itu! Pantas saja ada terapi kesehatan menggunakan lintah. Perjalanan kembali
dilanjutkan, dengan kami masih terkagum-kagum dengan indahnya terasering sawah
di sepanjang jalan. Sampai akhirnya kami tersasar ke Pantai! Ternyata kami lupa
mengambil persimpangan ke kiri dan telah melenceng lumayan jauh dari jalur
seharusnya, untungnya bisa buka Gmaps. Kali ini kami menghamba ke Gmaps untuk
jalur kembali, dan ternyata kami diarahkan ke jalur lain menuju Ruteng, karena
memang ada 2 jalur dari Ruteng ke Waerebo.
donor darah bagi lintah |
Rute
kali ini sama menantang dengan rute sebelumnya, kami harus melewati sempadan
sawah lengkap dengan batu-batu besar berdirinya selama beberapa kilometer
(serta dilihat dengan heran oleh petani-petani). Bagi saya pribadi rute kedua
sebenarnya lebih baik dan lebih singkat dari rute kemarin. Selepas sawah-sawah,
kami memasuki jalan aspal mulus, aspal sedang, hingga aspal tak berbentuk!
Bahkan saya sempat berhenti untuk menolong anak kecil yang membawa pupuk
sekarung, pupuknya jatuh dari boncengan karena lubang-lubang di jalan. Semakin
mendekati Ruteng kami seperti memasuki kawasan hutan lindung begitu rindang,
dan kabut begitu pekat menyelimuti, tapi pemandangan sepanjang jalan tetap terlihat
indah. Sekitar 3 jam berkendara dan kami sampai lagi di Ruteng! Ruteng terasa
hangat setelah melewati lautan kabut di perjalanan.
rute beda, indahnya sawah sama |
hutan lindung yang rindang! |
2 pilihan rute. Pilih tujuan: Satar Lenda |
Saya
kemudian melanjutkan perjalanan dengan kembali menaiki travel Gunung Mas menuju Labuan Bajo, bedanya kali ini waktu
tempuh nyaris 4,5 jam! Untungnya saya baru harus check in untuk Phinisi Trip paling lambat pukul 10 malam, dan telah
tiba di Labuan Bajo pukul 8 malam, masih sempat mengunjungi Kampung Ujung dan
mencicipi seafoodnya yang sudah
kesohor. Suasana malam di pelabuhan Labuan Bajo begitu hidup (dibanding malam
sebelumnya di Waerebo) dengan kerlap kerlip lampu hotel, homestay, restoran, dan kapal-kapal yang berlabuh, nyaris semuanya
bersiap memulai perjalanan menuju indahnya pulau-pulau di Taman Nasional Pulau
Komodo esok subuh.
Indahnya
Flores, indahnya Indonesia, indahnya hidup ini!
Terima kasih telah membaca sejauh ini! |
No comments:
Post a Comment