"Pertama kita
membentuk kebiasaan dan kebiasaan akan membentuk kita. Kalahkan
kebiasaan buruk Anda, atau mereka akan mengalahkan Anda." -Dr. Rob Gilbert
Berdasarkan hasil penelitian Duke University, sebesar 40% aktivitas manusia didasari oleh kebiasaan. Jadi aktivitas rutin seperti bangun pagi, mandi, belajar, bekerja, tidur sebagian besar didasari oleh kebiasaan, yang dibentuk tak hanya dari diri pribadi tapi juga dari lingkungannya. Seperti ketika warga Indonesia berada di Singapura, maka kebiasaannya akan menjadi tertib seperti bagaimana lingkungan di Singapura: tertib keluar masuk angkutan umum, tertib menyeberang kendaraan, tidak membuang sampah sembarang. Tapi orang yang sama ketika kembali berada di Indonesia, maka kebiasaan tertib itu kemudian luruh: rebutan masuk kereta lagi, melanggar marka jalan lagi, membuang puntung rokok sembarangan lagi.
Sebagai mahluk sosial, lingkungan akan sangat menentukan bagaimana seseorang bersikap agar merasa diterima dan menjadi bagian dari komunitas sosial. Dalam adat Bali dikenal istilah 'Desa, Kala, Patra' sebagai panduan bersikap dan beradaptasi dengan lingkungan. Istilah 'Desa' berarti lokasi atau tempat kita berada, artinya sikap disesuaikan apakah sedang santai di rumah sendiri, sedang bertamu, atau berada di tempat ibadah. Istilah 'Kala' berarti waktu, ketika malam hari dan umumnya semua orang beristirahat maka seyogyanyalah kita tak membuat keributan yang tak perlu. Terakhir 'Patra' artinya situasi atau kondisi, misalnya ketika berkunjung ke rumah sepupu yang sedang berduka karena Neneknya meninggal, tak pantas bila kita malah tertawa terbahak-bahak karena menonton video lucu di Youtube (pakai WiFi sepupu pula!). Dengan mengetahui 'Desa, Kala, Patra' diharap seseorang tak melanggar etika atau setidaknya tak menjadi janggal di lingkungannya. Saya sendiri yang tinggal di Mataram, tak berani berhenti di sebelah kiri jalan meski marka jalan menyatakan 'belok kiri ikuti lampu isyarat' karena ada resiko ditabrak oleh pengendara dari belakang, karena masyarakat di Mataram belum terbiasa berhenti di tikungan ke kiri (teman kantor pernah mengalami ditabrak dari belakang seperti itu).
Pengaruh lingkungan yang kuat membentuk kebiasaan itu pula membuat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sangat berat, jika hanya dibebankan ke penegak hukum terutama KPK. Korupsi tidak akan pernah berkurang jika masyarakat masih maklum membayar parkir tanpa mendapat karcis; masih terbiasa menggunakan BBM bersubsidi padahal tergolong mampu; masih menawarkan fasilitas berlebihan bagi pejabat pemerintah. Kebiasaan-kebiasaan itu yang kemudian membentuk pola pikir bahwa korupsi itu wajar, korupsi itu tak bisa dihindarkan, korupsi itu sudah menjadi rahasia umum, akan terasa janggal jika berbuat sesuai aturan sementara yang lain melanggar tanpa hukuman. Ketika perbuatan yang salah menjadi kebiasaan, maka berbuat baik membuat seseorang menjadi janggal di lingkungan itu.
Di jaman sekarang saat segala sesuatu bergerak begitu cepat, menjadi janggal diperlukan tapi dengan istilah yang sedikit keren yakni anti mainstream. Seperti halnya melihat roda yang berputar cepat, setiap jeruji tak akan terlihat kecuali ada sebuah jeruji yang berwarna mencolok. Apalagi di bidang pemasaran, menjadi janggal akan menyolok perhatian dan membuat produk lebih mudah untuk dikenal. Jangan heran ketika mulai banyak papan penunjuk dengan tulisan 'jangan toleh ke kiri' padahal warungnya berada di kiri, cara yang janggal tapi berhasil karena manusia memiliki rasa penasaran yang tinggi terutama untuk hal-hal yang dilarang.
Tetaplah menjadi orang baik dan berbuat benar meski itu membuat anda menjadi janggal. Mulai dari hal-hal yang kecil seperti memberi ucapan yang tulus di WhatsApp tak hanya menyalin ucapan yang sudah ada sebelumnya; seperti memakai helm ketika di kampung halaman, meski tak ada polisi yang bertugas atau bahkan jalanan di kampung masih berupa tanah. Hingga ke hal yang lebih besar seperti memiliki NPWP dan melaporkan SPT Tahunan (paling lambat 31 Maret 2019 untuk orang pribadi, dan 30 April 2019 bagi badan), meski pengusaha lain di lingkungan anda tak ada yang memiliki NPWP. Mengajarkan generasi penerus untuk bercita-cita menjadi entrepeneur atau pengusaha ketika besar bukan seperti kebanyakan remaja yang ingin menjadi PNS, karena saat ini Indonesia hanya memiliki sekitar 3% entrepeneur, sementara umumnya warga di negara-negara maju lebih dari 14% adalah entrepeneur.
Anda telah memulainya saat ini, menjadi janggal karena membaca tulisan ini hingga habis, padahal minat baca di Indonesia menurut penelitian hanyalah 0,01% atau Anda adalah orang spesial (meski dikatakan janggal) diantara 10.000 orang lainnya.
Selamat tanggal 14 Februari 2019.
No comments:
Post a Comment