Sunday, August 23, 2020

Tilik (2018): Merangkum Indonesia Dalam 30 Menit

 Film pendek berjudul Tilik (2018) karya Ravacana Film tayang di Youtube sejak 17 Agustus 2020 menjadi viral di berbagai media dan kini telah ditonton jutaan orang hanya dalam waktu beberapa hari saja. Banyak aspek dalam film ini yang membuat disukai penonton dan memenangkan beberapa penghargaan internasional, menurut saya pribadi film ini mampu merangkum banyak hal yang terjadi sehari-hari di Indonesia hanya dalam waktu 30 menit. Berikut daftarnya:

Dialog dengan view-nya kontras :D

 

1.    Jiwa sosial dan gotong royong

      Judul film ini sendiri berarti menjenguk, sesuai dengan ide ceritanya yakni perjalanan sekelompok ibu-ibu untuk menjenguk Bu Lurah yang sedang dirawat di Rumah Sakit. Terdorong jiwa sosial yang tinggi, maka mereka rela melakukan perjalanan jauh untuk menjenguk, padahal di era modern kabar bisa disampaikan melalui gawai secara seketika. Untuk biaya perjalanan dan uang santunan ke Bu Lurah mereka melakukan pengumpulan uang, ini adalah contoh sederhanan gotong royong di Indonesia. Satu orang yang memberi santunan nilainya mungkin tidak seberapa, tapi ketika digabung dengan banyak orang, maka nilai uang santunannya menjadi sangat berarti bagi yang menerima.

2.    Nama khas Indonesia

      Melompat akhir film yakni nama pemeran dari film ini, terlihat nama pemeran figuran ibu-ibu yang sangat khas Indonesia seperti Tuminah, Tumijem, Ngati, Poniran, dan Wajiyem. Nama yang terdiri dari satu kata sederhana ini memang lambat laun semakin jarang ditemui, apalagi di kalangan anak muda. Contoh paling kontras adalah nama pemeran Dian yakni Lully Syahkisrani, bandingkan dengan nama asli pemeran supir truk yakni Gotrek (ya, itu nama aslinya, dan profesinya memang supir truk). Apakah kamu punya teman yang namanya hanya satu kata?

Kebayang ribetnya guru sekolah saat absen

 

3.   Indahnya Indonesia

     Harus diakui sinematografi film pendek ini istimewa, mampu menampilkan pemandangan sehari-hari Indonesia yang membuat negara ini begitu dikagumi karena keindahannya. Berdasarkan pengalaman pribadi saya berkenalan dengan wisman, mereka sangat menyukai perjalanan ke lokasi wisata yang tak kalah indahnya dengan objek wisata itu sendiri, seperti sawah yang tertata rapi, arsitektur rumah tradisional, hingga warga di sepanjang jalan yang ramah menyapa (tapi yang paling tidak disukai adalah sampah plastik yang dibuang sembarangan di objek wisata, jangan heran melihat bule yang rela menyelam hanya untuk memungut sampah plastik di laut Indonesia).

 

4.   Truk sebagai alat angkut orang

     Penggunaan truk sebagai alat angkut orang memang dilarang sebagian besar Pemerintah Daerah, karena sangat membahayakan nyawa para penumpangnya. Tapi fenomena truk ini masih dapat ditemui bahkan di kota besar seperti Denpasar, biasanya untuk mengantar rombongan seniman tari dan musik menuju lokasi pementasan. Selain truk, ada juga mobil bak terbuka yang menjadi andalan transportasi warga yang sebenarnya dilarang. Di Lombok mobil L-300 yang mengangkut puluhan orang akan sangat mudah dilihat setiap hari minggu siang-sore di sekitar kawasan pantai, karena memang mereka berbondong-bondong hendak piknik murah-meriah. Seperti halnya di film Tilik, polisi memang akan menghentikan truk atau kendaraan bak terbuka lain yang mengangkut penumpang, karena melanggar aturan jalan.

Di NTT disebut Oto, dan sah penggunaannya

  

5.   Musala adalah oasis 

     Keberadaan musala atau surau hingga ke lokasi yang terpencil adalah semacam oasis bagi umat muslim. Selain untuk kebutuhan utama yakni ibadah, musala juga menjadi penyelamat untuk kebutuhan toilet, sekedar tempat berteduh ketika hujan atau panas terik. Saya sendiri dalam perjalanan dinas ke pelosok Lombok berkali-kali beristirahat di musala, utamanya ketika mulai mengantuk mengendarai sepeda motor dan jalanan sedang panas menyengat.

 

6.   Bangsa yang religius

     Sesuai sila pertama Pancasila, bangsa Indonesia memang bangsa yang sangat religius, khususnya dalam film ini diceritakan perjalanan dihentikan sejenak untuk penumpangnya menunaikan ibadah, selain itu disebutkan bahwa Bu Tejo mengikuti pengajian. Setelah hampir sedekade di Lombok, saya terbiasa mendengar pengeras suara ibadah apalagi di bulan puasa, dan saya masih selalu kagum banyaknya warga Lombok yang telah menunaikan ibadah Haji. Bagi saya seorang yang telah Haji telah melewati sangat banyak rintangan: mengumpulkan uang; tidak menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan lainnya; sabar menunggu uang terkumpul (hingga puluhan tahun!); terhindar dari biro haji palsu; hingga berhasil kembali dengan selamat ke tanah air. Sebuah proses yang sangat panjang dan tidak mungkin tanpa didasari keimanan yang kuat.

 

7.   Mual menaiki mobil

     Saya tidak begitu tahu bagaimana di luar negeri, tapi tampaknya di Indonesia sangat banyak orang yang memiliki kecenderungan mual ketika menaiki kendaraan roda empat, dalam film digambarkan seorang penumpang harus muntah di perjalanan. Ketika kuliah dan harus menggunakan bis dari Jakarta ke Bali, nyaris setiap perjalanan ada penumpang yang mual hingga muntah, padahal perjalanannya terhitung mulus. Jadi sangat wajar dalam angkutan umum dari Labuan Bajo ke Ruteng yang berkelok puluhan kali tanpa henti, akan ada penumpang yang muntah. Bahkan ada orang yang begitu takut membayangkan besok harus menumpang mobil untuk perjalanan jauh, hari itu juga dia muntah (padahal sedang di rumahnya!)

 

8.   Sugesti dan Pamali

    Betapa pun religiusnya bangsa Indonesia, tampaknya masih susah dilepaskan dari kepercayaan akan hal-hal yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya seperti sugesti dan pamali. Dalam film dikisahkan ketika Bu Tejo kebelet pipis dia ditawari karet untuk mengikat jempol kaki agar tahan. Kepercayaan penggunaan karet ini juga ada di Bali, bersama dengan percaya bahwa kalau sakit perut maka membawa batu dan ditempelkan di pusar akan membuat sakit perut hilang. Ada pula adegan ketika Yu Ning menyalahkan Bu Tejo, karena uang sogokan ke Gotrek yang tidak berkah membuat truk tiba-tiba mogok. Di daerahmu pasti ada kepercayaan seperti ini kan?

 

9.   Bling-bling, baby!

      Apakah kamu sadar ketika mendekati hari raya besar maka toko emas perhiasan ramai pengunjung? Seperti halnya Bu Tejo yang mengenakan perhiasan emas yang glamor, kebiasaan ini umumnya dilakukan ibu-ibu untuk menunjukkan bahwa usahanya telah berhasil dan emas menjadi bukti nyata. Selain resiko tindak kejahatan seperti jambret, saya mendukung hal ini karena emas terbukti menjadi sarana investasi paling aman, bahkan Agustus 2020 harga emas mencapai rekor tertinggi yakni melewati Rp1 juta per-gram! Sekarang bayangkan “berapa harga outfit loe dari Bu Tejo ketika gelangnya saja 6 buah dengan berat sebuah gelang minimal 8 gram (belum lagi bros dan cincinnya, nilainya bisa melebihi Rp100 juta!)

 

10.  Budaya KKN

      Budaya peninggalan penjajah yang begitu mengakar kuat ke bangsa ini, hingga menjadi kejahatan luar biasa yang membuat negara ini tak kunjung bisa memenuhi potensinya. Dalam sebuah adegan Bu Tejo memberi uang ke Gotrek yang ternyata motifnya adalah agar suaminya dipilih untuk menjadi Lurah. Harus diakui budaya KKN mulai dari level pemimpin terkecil seperti Lurah, Kepala Desa, Bupati/Walikota, hingga yang terhormat anggota DPR masih menjadi temuan rutin KPK, Polisi, dan Kejaksaan. Jiwa kepo seperti Bu Tejo sebenarnya bagus untuk mengidentifikasi adanya koruptor di sekitar kita, ketika misal seorang oknum PNS yang gajinya maksimal Rp10 juta per bulan mampu memiliki mobil mewah, rumah besar, tapi tidak memiliki usaha lain, maka patut dipertanyakan asal hartanya (seperti berkali-kali diungkap KPK harta koruptor yang nyata-nyata dipamerkan setiap hari).

 

11.  The Power of Emak-Emak

      Ketika memiliki modal sekelompok ibu-ibu, penulis naskahnya dengan asik memasukkan unsur the power of emak-emak (selain fakta bahwa mereka kuat berdiri di truk sepanjang perjalanan) seperti ketika truk dihentikan oleh polisi, mereka dengan mudahnya turun sendiri dari truk (di adegan lain terlihat untuk turun truk harus dibantu Gotrek untuk membuka pintu dan menyiapkan kursi injakan) dan memaksa polisi yang kurang beruntung itu untuk membiarkan mereka lewat. Ini adalah sentilan banyak kejadian sehari-hari yang juga menjadi meme yang viral. Saya sendiri mengalami ketika sedang berkendara, di depan saya ada emak-emak yang menghidupkan lampu sein ke kiri sementara tiba-tiba sepeda motornya minggir ke arah kanan, sehingga ada sepeda motor dari arah belakang yang hendak menyalip dari kanan, terpaksa rem mendadak dan jatuh, sementara emak-emak  itu melenggang terus tanpa rasa bersalah.

Bahkan ada ibu yang sibuk merekam kejadian ini
 

12.  Hoax

     Yang terakhir merupakan pesan dari film ini sendiri yakni jangan mudah terperdaya hoax atau informasi yang belum jelas kebenarannya. Informasi samar yang dikumpulkan, dicari kecocokannya, kemudian dikembangkan, ini sangat berbahaya. Seperti hanya bersumber dari sedikit info, tiba-tiba Bu Tejo sudah menyimpulkan Dian menggunakan susuk. Apalagi di era pandemi, saat aktivitas media sosial sangat tinggi, mudah sekali cocokologi ini terjadi. Tak berhenti ada berita pengambilan paksa jenazah pasien Covid-19 di rumah sakit karena termakan hasutan bahwa pasien tersebut tidak positif, atau rumah sakit salah diagnosis untuk keuntungan usaha, atau proses pemakamannya tidak akan sesuai kaidah agama. Semakin majunya informasi harusnya membuat masyarakat bisa memilah mana informasi yang dapat dipercaya dan mana yang hanya cocokologi. Sayangnya berdasarkan survei Kantar TNS tahun 2017, hingga 61% masyarakat Indonesia mempercayai informasi yang mereka lihat di internet, bandingkan dengan persentase kepercayaan rata-rata penduduk dunia akan sebuah konten hanya 35%.

 

Wah, panjang ya penjelasannya? Memang film ini pendek tapi berisi!

No comments:

Post a Comment