Sebagai PNS,
panggilan dinas disyukuri karena berarti kesempatan untuk mengembangkan diri
(dalam pendidikan, pelatihan, atau seminar), sekaligus kesempatan untuk
jalan-jalan dan mengenal daerah baru. Selama 8 tahun bekerja, saya telah
mengalami panggilan dinas ke Jakarta (beberapa kali), Malang, Surabaya,
Bandung, dan terakhir ke Yogyakarta, jadi lengkap sudah area di Pulau Jawa saya
kunjungi dalam rangka kedinasan. Jika perjalanan dinas sebelumnya saya lalui
dengan sedikit jalan-jalan, biasanya hanya ke Mall-nya, maka kali ini di
Yogyakarta saya memang meniatkan diri untuk bertualang demi lebih mengenal
daerah istimewa ini.
Ini adalah kali kedua saya mengunjungi Yogyakarta, pertama kali tahun 2015 lalu dan saat itu saya hanya sempat mengunjungi Candi Prambanan, Candi Ratu Boko, Malioboro, dan Pasar Beringharjo. Maka di kunjungan kedua ini saya memilih untuk menyewa sepeda motor seharga Rp80 ribu per hari agar lebih fleksibel dalam mengunjungi objek wisata yang menjadi incaran, dan saya beruntung karena sepeda motor sewaan merk Honda Spacy itu dalam kondisi baru dan bagus serta sangat irit!
Inilah ringkasan perjalanan tak terduga saya:
1. Istana Air Taman Sari
Objek wisata pertama
adalah Istana Air Taman Sari, masih terletak di pusat kota tapi memerlukan
cukup waktu menuju ke sana karena jalan yang kecil dan petunjuk jalan agak tricky. Bahkan saya sudah sempat
berhenti di tempat bertuliskan “Parkir Tamansari” setelah masuk dan melihat-lihat tapi tidak
menemukan Istana Air, dan ternyata saya berhenti di Pasar Tamansari, salah satu
pasar kuliner kenamaan.
Istana Air Taman Sari
merupakan benteng sekaligus tempat pemandian kerajaan untuk istri dan putri
kerajaan di jaman dulu. Ada 3 kolam pemandian yang dibedakan peruntukannya, dan
di empat sudut bangunan terdapat wadah aroma terapi besar (jaman dulu sudah
sangat maju). Areal Taman Sari sebenarnya cukup besar, tapi karena panas dan
saya agak kelelahan karena baru saja tiba dari Lombok, jadi hanya sempat
mengunjungi area utama kolam dan bangunan pendukungnya.
Sayangnya masih
terdapat beberapa coretan vandalisme di dalam benteng, dan pengunjung yang
datang juga ada yang memasukkan kaki ke kolam padahal sangat jelas dilarang.
Tips:
Meski di Google disebut buka pukul 8 pagi, tapi objek
ini baru buka pukul 9 saat saya datang, mungkin karena hari kerja. Usahakan
datang lebih pagi agar belum terlalu ramai dan bisa mengambil gambar, karena
area kolam tidak terlalu luas akan kesulitan jika sudah ramai pengunjung.
Biaya:
Tiket masuk Rp5.000,00;
Ijin Foto Rp2.000,00; Parkir Rp2.000,00
Foto:
tiket masuk, dan leaflet penjelasan lokasi |
pintu masuk kawasan Taman Sari |
salah satu kolam utama, dari 3 kolam |
2. Keraton Yogyakarta (Area depan saja)
Dari Taman Sari menuju Keraton dan
Alun-alun kira-kira 5 menit, karena memang masih satu komplek besar
kerajaan. Sayangnya hari itu area dalam Keraton tidak dibuka, jadi pengunjung
hanya bisa di area depan dan area museum Keraton, yang hanya sekitar 1/8 dari
keseluruhan luas Keraton.
Mengingat hanya sedikit areal yang bisa
dikunjungi, tak perlu waktu lama sebelum seluruh area sudah saya jelajahi.
Museumnya terlalu kecil dan sederhana, kalau digarap lebih serius lagi mungkin
bisa lebih bagus.
Tips:
Cari di internet atau informasi dari
pengelola, hari apa seluruh area Keraton dapat dikunjungi agar lebih puas
menjelajah.
Biaya:
Tiket masuk Rp5.000,00;
Ijin Foto Rp2.000,00; Parkir Rp2.000,00
Foto:
Salah satu pendopo bersejarah, terutama di jaman perjuangan |
Pintu masuk pendopo |
Alun-alun Keraton saat malam, masih ramai. |
3. Malioboro dan Titik Nol Kilometer
Malioboro memang tempat yang wajib
dikunjungi sehingga bisa dibayangkan jalan ini setiap saat selalu ramai, pagi
siang apalagi malam. Malam hari adalah waktu paling pas ke Malioboro, kuliner
lesehan berjajar di kiri jalan lengkap dengan musisi jalanan yang kreatif, dan
pedagang oleh-oleh di sisi kanan jalan. Berjalan kaki menyusuri jalan ini tak
akan terasa, dari ujung hingga ke Titik Nol Kilometer karena memang ramai dan
ada objek-objek wisata sepanjang jalan seperti Benteng Vredeburg, Monumen
Serangan Umum 1 Maret, dan beberapa Kampung Wisata di kiri-kanan jalan.
Tips:
Sempatkan melihat pertunjukan musisi angklung
di depan Maliobo Mall pada malam hari, dan tentu saja jangan lupa berikan
kontribusi Anda. Jika Anda ingin berfoto dengan papan nama Jalan Malioboro,
maka harus bersabar karena banyak antrian, tapi papan nama jalan itu sendiri
disediakan banyak di sepanjang jalan Malioboro, tak seperti nama jalan lain
yang papan namanya hanya di awal jalan.
Biaya:
Tidak ada biaya masuk areal. Tapi untuk
parkir di area ini agak susah, salah satunya dengan parkir di Malioboro Mall
(parkirnya sangat terbatas) atau parkir di area parkir yang disediakan di luar
area Jalan Malioboro.
Foto:
4. Monumen Tugu
Di hari kedua saya di Jogja, hanya punya
sedikit waktu untuk jalan-jalan karena acara kantor baru selesai sore hari
(bahkan beberapa rekan masih mengerjakan tugas hingga malam hari). Meski
singkat, saya sempatkan mengunjungi Monumen Tugu dengan menaiki becak. Malah
ini adalah yang saya rekomendasikan untuk menuju Tugu. Dengan becak, perjalanan
menuju Tugu jadi bisa dilalui dengan pelan dan Anda masih bisa menikmati nuansa
di sepanjang jalan, yang utamanya kuliner terutama kuliner di depan kantor
Kedaulatan Rakyat (KR) yang legendaris.
Monumen Tugu terletak di tengah
persimpangan jalan aktif, jadi kendaraan masih berlalu-lalang melewati monumen
itu. Monumen ini selalu ramai menjadi pusat tempat foto di malam hari, apalagi
kalau hari libur.
Tips:
Berhati-hati kala mengambil gambar di
kawasan ini, beberapa pengunjung saya lihat terlalu di tengah jalan dalam
mengambil foto padahal banyak kendaraan melintas. Better safe than sorry.
Biaya:
Tentu tidak ada biaya untuk areal ini, tapi
siapkan uang untuk berwisata kuliner di sekitar monumen, ada pilihan lesehan
sederhana ada pula cafe kekinian.
Foto:
5. Bukit Bintang dan Embung Nglanggeran
Hari ketiga dan acara kantor resmi selesai
tak terlalu sore, sehingga dari kantor saya langsung meluncur menuju Gunung Kidul
dengan berbekal Google Maps, menyusuri Jalan Raya Yogyakarta-Wonosari kira-kira
selama 40 menit sebelum sampai di kawasan yang disebut Bukit Bintang. Bukit
Bintang ini adalah kawasan ideal untuk melihat kota Yogyakarta dan Gunung
Merapi dari kejauhan, terutama di malam hari Anda akan dihibur dengan kerlip
cahaya lampu kota, sambil menikmati santapan lokal yang murah meriah. Saya
sendiri mampir di sebuah lesehan di kanan jalan, tepat sebelum papan lambang “Gunung
Kidul Handayani”. Saya duduk di lantai 2 lesehan, sehingga mendapat pemandangan
optimal ke arah kota dan bisa juga hunting
foto lampu kendaraan yang melintasi jalan raya.
Tujuan utama kunjungan ke Gunung Kidul kali
ini adalah atraksi matahari terbenam di Embung Nglanggeran. Untuk sampai
kawasan ini ikuti saja marka jalan, karena memang sinyal akan agak susah di
tengah kawasan perbukitan. Sebagian besar jalanan dalam kondisi aspal mulus,
tapi ketika memasuki kawasan Gunung Purba Nglanggeran bersiaplah dengan kondisi
jalan tanah berbatu dan gelap dan menanjak, beruntung saat saya datang tidak
sedang hujan.
Embung Nglanggeran terletak di puncak bukit
dengan pemandangan ciamik, di depannya adalah Yogyakarta berselimut kabut, di
belakangnya adalah pegunungan purba, lengkap dengan udara sejuk dan masih
alami. Parkir kendaraan terletak di dekat puncak, jadi hanya perlu menaiki
sedikit tangga sudah sampai di Embung Nglanggeran. Embung ini sendiri adalah
semacam kolam buatan yang diresmikan tahun 2013, namun baru setahun belakangan
ini memang menjadi primadona karena banyaknya foto di media sosial seperti
Instagram.
Biaya:
Tidak ada biaya masuk kawasan Bukit
Bintang, hanya biaya parkir.
Tiket masuk Embung Nglanggeran Rp10.000,00;
Parkir Rp2.000,00
Tips:
Usahakan tidak datang di musim hujan,
karena jalanan akan lebih licin, apalagi ketika menanjak menuju lokasi. Selain itu
ketika mendung, tidak akan mendapat keindahan sunset dari puncak Embung, meski tanpa sunset tempat ini memang sudah indah.
Foto:
Lalu lalang kendaraan malam hari di Bukit Bintang |
Kerlip lampu ibu kota di malam hari |
tiket masuk kawasan Embung Nglanggeran |
berlatar Gunung Purba Nglanggeran |
menunggu sunset, salah satu spot terbaik di Yogyakarta |
6. Punthuk Setumbu dan Bukit Rhema (Gereja Ayam)
Kata seorang teman, kedua tempat ini
menjadi sangat populer karena menjadi lokasi syuting film AADC 2, makanya meski
lokasinya adalah mendaki puncak bukit dengan jalan tanah dan lumpur, sangat
banyak pemuda-pemudi yang berkunjung dengan pakaian modis, saya sendiri memakai
sendal jepit karena sudah memperkirakan kondisinya pasti agak kotor.
Di luar dugaan saya, Bukit Punthuk Setumbu
sudah dikelola dengan profesional, dengan loket penjualan tiket, tangga buatan
(tak sampai 100 tapi cukup menanjak dan menguji stamina), dan banyak penjaga
areal mulai parkir hingga ke puncak. Sesuai saran dari internet, saya berangkat
dari Yogyakarta sekitar pukul 03.30 pagi menyusuri jalur Yogyakarta-Magelang.
Hanya berbelok sekali ke kiri saat ada petunjuk jalan “Borobudur”, selanjutnya
ikuti jalan utama sampai ke Candi Borobudur. Nah di sekitar Candi akan banyak
tukang ojek yang berjaga saat subuh, untuk mengantar pengunjung ke lokasi
parkir Punthuk Setumbu dengan biaya Rp20.000,00. Lokasi parkir kira-kira 4 km
dari Candi Borobudur, masuk ke areal pedesaan dengan kondisi jalan yang sangat
baik.
Dari area parkir, mendaki kira-kira 15
menit sampailah di puncak bukit Punthuk Setumbu, dengan pemandangan Candi
Borobudur di sisi timur lengkap dengan selimut kabut yang hari itu tak mau lepas
sama sekali dari pukul 5 hingga 7 pagi. Areal puncak bukit cukup luas untuk
menampung 100 orang pengunjung, dan ada beberapa penjual makanan ringan, serta
ada rumah pohon (berbayar) untuk pemandangan yang lebih indah lagi. Awalnya
bukit ini terkenal di kalangan wisatawan asing untuk melihat matahari terbit,
tapi saat ini malah dipenuhi wisatawan lokal.
Dari Punthuk Setumbu, apabila berjalan ke
arah Utara mengikuti jalan tanah, sekitar 20 menit akan sampai ke Bukit Rhema
yang terkenal dengan Gereja Ayam-nya. Gereja ini baru buka pukul 6 pagi, untuk
bisa menikmati pemandangan dari puncak kepala “Ayam” dengan view 360 derajat perbukitan berkabut dan
kalau beruntung melihat semburat kemerahan langit setelah matahari terbit. Dari
Bukit Rhema, ada jalan sudah disemen menuju ke parkiran, tap parkiran ini masih
sekitar 1 km dari parkiran Punthuk Setumbu, jadi saya saat itu karena sudah
kelelahan, memutuskan naik ojek saja yang bersliweran di sekitar lokasi.
Biaya Punthuk Setumbu:
Tiket masuk Rp15.000,00; Parkir Rp2.000,00;
Ojek ke lokasi Rp20.000,00
Biaya Bukit Rhema:
Tiket masuk gereja Rp10.000,00; Ojek ke
parkir Punthuk Setumbu Rp10.000,00
Tips:
Karena yang menjadi andalan bukit ini adalah
sunrise, maka pastikan Anda sudah ada
di lokasi 30 menit sebelum jadwal matahari terbit sekitar pukul 05.30 sd. 05.55
setiap harinya. Tentu saja cuaca akan sangat berpengaruh, saya sendiri gagal
melihat sunrse karena mendung begitu
pekat. Bahkan teman saya sudah 3 kali ke bukit dan tetap gagal. Untuk di puncak
Gereja Ayam, sebaiknya lakukan secara bergiliran, karena puncaknya sempit dan
takutnya akan jebol andai terlalu banyak orang yang berfoto di sana.
Foto:
Borobudur dari puncak Punthuk Setumbu |
jalanan asri dari Punthuk Setumbu menuju Borobudur |
tiket masuk dalam Gereja Ayam |
view dari atas mahkota Gereja Ayam |
Ini Gereja, dan berbentuk ayam, biasanya berselimut kabut |
7. Candi Borobudur
Akhirnya saya sampai di Candi Borobudur,
salah satu dari 7 keajaiban dunia lama, Candi Budha terbesar di dunia. Dari
Punthuk Setumbu sangat mudah menuju Candi Borobudur, tinggal mengikuti petunjuk
jalan dan ikuti jalan utama. Untuk masuk kawasan candi, hanya diperbolehkan
mobil dan bus, sedangkan sepeda motor harus parkir di parkiran umum di luar
kawasan.
Candi Borobudur juga menawarkan paket
wisata sunrise yang dikelola oleh
Hotel Manohara, tapi harganya cukup mahal yakni Rp250.000,00 untuk lokal dan
lebih mahal lagi untuk wisatawan asing, sedangkan candinya sendiri baru buka
pukul 6 pagi. Kawasan Candi Borobudur memang cukup luas, tapi suasana yang asri
dan udara sejuk membuat tak terasa jalan menuju candi.
Di dalam candi, diatur bahwa pengunjung
naik dari pintu timur untuk kemudian berputar searah jarum jam dalam melihat
mural di sepanjang dinding candi, sedangkan turun dari pintu Barat dan Utara.
Sayangnya banyak sekali pengunjung yang tidak membaca atau malah tidak peduli
dengan aturan, sehingga mengitari candi berlawanan arah jarum jam, dan naik
dari pintu Barat dan Utara, mereka yang melannggar ini rata-rata masih muda dan
rasanya tidak buta huruf. Di puncak candi, terdapat Stupa yang merupakan areal
sakral dan banyak petugas candi memberikan peringatan untuk tidak menaiki atau
memanjat Stupa, tapi tetap saja anak-anak muda banyak sekali yang melanggar dan
harus ditegur oleh petugas. Sekali lagi, mereka bukan tidak tahu, hanya tidak
peduli.
Biaya:
Tiket masuk lokal Rp30.000,00; Parkir
Rp5.000,00
Tips:
Parkir di areal belakang candi, karena
seperti saya parkir di areal depan pintu masuk, maka ketika keluar dari candi
akan membutuhkan kira-kira 700 meter berjalan kaki, dalam kondisi setelah lelah
menyusuri Candi Borobudur yang bertingkat.
Tips tambahan bagi Anda yang melakukan
wisata sunrise di Punthuk Setumbu dan
berlanjut ke Candi Borobudur, persiapkanlah batere kamera dengan baik, karena
kamera saya sudah kehabisan batere belum sampai di puncak Borobudur, terlalu
banyak terpakai saat menunggu sunrise di
puncak bukit.
Foto:
petunjuk cara menaiki candi terpampang di luar |
beberapa rombongan ramai mengunjungi sedari pagi |
seperti dahulu kala, kini pun masih sangat asri dan sejuk |
Stupa sakral dan dilarang memasukkan tangan |
Hikmah
dari kunjungan selama 4 hari di Yogyakarta kali ini bagi saya adalah bahwa
pariwisata memang salah satu jalan agar masyarakat bisa keluar dari kemiskinan.
Kawasan Gunung Kidul begitu berkembang seiring dengan makin tingginya animo
wisata, didukung media sosial seperti Instagram yang menjadi motor promosi
kawasan wisata baru, bahkan lebih cepat daripada Pemerintah Daerah bisa
mengakomodir kawasan wisata tersebut. Saya juga tak berkeberatan harus membayar
ojek, atau parkir, atau becak, selama berwisata karena itu adalah salah satu
bentuk kontribusi kita kepada masyarakat lokal yang memang seharusnya merasakan
imbas positif dari kemajuan pariwisata, tak hanya merasakan sampah, kencing, dan kemacetannya.
Selamat
berwisata, jangan lupa buang sampah pada tempatnya, dan hargailah kearifan
lokal.
No comments:
Post a Comment