Kepuasan alamiah manusia biasanya
berasal dari dipenuhinya kebutuhan dasar seperti sandang (pakaian), pangan
(makanan/minuman), dan papan (tempat tinggal). Namun seiring makin
berkembangnya manusia dan alamnya, kepuasan itu membutuhkan lebih dari sekedar memiliki
pakaian, tapi memiliki pakaian yang bagus dan trendi. Lebih dari sekedar makan,
tapi makan yang enak dan tempatnya sedang hits di Instagram. Lebih dari sekedar
tempat tinggal, tapi rumah sendiri dengan furniture dan pernak-pernik unyu.
Atau bersumber dari hal lain, misalnya melihat orang yang dulu sering mem-bully
kita kemudian saat ini kondisinya lebih jelek daripada kita sekarang (yang ini
pasti kepuasannya berkonotasi negatif, senang melihat orang susah). Bagi saya
sendiri, ada beberapa kepuasan ganjil yang saya rasakan, tidak terlalu tepat
kepuasan sih, bercampur antara senang, excited, lega, dan puas, seperti:
- Mendengar suara sepeda motor Bapak mendekat ke halaman rumah (waktu masih kecil). Saat itu selalu ada rasa excited yang membuncah, membayangkan apa yang dibawa Bapak pulang ke rumah, apakah Martabak dari Senggol Kampung Tinggi, apakah Capcay dari Taman Lila, apakah Donat Manalagi Banyuasri, pokoknya makanan-makanan khas dari Kota Singaraja, yang tentunya tidak ada yang menjual di desa kami ataupun tak mungkin dimasakkan oleh Ibu.
- Ketika hujan turun, dan aroma khas tanah basah menyeruak di udara. Dulu di desa kami jalanan masih sebagian besar tanah, rumah-rumah juga masih berhalaman tanah sepenuhnya, belum dibeton atau di-pavin, sehingga ketika hujan turun, aroma tanah basah benar-benar kuat tercium, dan entah kenapa setiap aroma itu ada hingga sekarang, selalu ada rasa nostalgia akan kehidupan masa kecil di desa yang sederhana.
- Pernah menggoreng sendiri kerupuk udang? Dari biang kerupuk kecil akan berkembang jadi 8 kali lipat lebih besar dari aslinya ketika digoreng. Waktu kecil dulu saya sering mengajukan diri ke Ibu untuk menggoreng kerupuk udang, demi merasakan sensasi yang unik, yakni ketika saya menekan sendok penggorengan ke tengah biang kerupuk dan melihat kerupuk menggeliat membesar seakan meronta ingin lepas dari kekangan sendok penggorengan. Oddly Satisfying!
- Sebagai anak yang tumbuh bersama serial epik (novel dan film) The Lord of The Ring dan Harry Potter di awal tahun 2000-an, setiap tahun adalah sebuah penantian panjang menunggu kapan seri novel terbarunya terbit dan kapan filmnya bisa ditonton. Penantian itu terbayar dengan betapa bagusnya film The Lord of The Ring dan Harry Potter, sangat memenuhi ekspektasi pembaca. Dan yang tertinggal dari momen itu adalah musiknya yang begitu berkesan, kapanpun mendengar alunan original score-nya seakan membaya saya melayang kembali ke dunia magis dan excitement ketika pertama kali menonton filmnya.
- Seperti anak laki-laki lainnya, saya juga sempat menggandrungi games manajer sepakbola virtual seperti Championship Manager (CM) dan Football Manager (FM). Salah satu sisi yang paling digemari dari games itu adalah keberhasilan seorang manajer dalam menemukan calon pemain bintang (dan membeli dengan gratis atau super murah) lalu melihat pemain itu berkembang menjadi salah satu pemain terbaik dunia (dan menjualnya dengan harga super mahal). Tapi ada kepuasan tambahan bagi saya (dan banyak orang lainnya) adalah ketika melihat di dunia nyata calon pemain bintang tersebut berkembang menjadi pemain hebat. Seperti ketika dulu memainkan CM (mungkin tahun 2001) saya membeli pemain muda berbakat asal klub Sao Paolo-Brasil berumur 18 tahun bernama Kaka, dan akhirnya dia menjadi pemain bintang di games, dan juga menjadi pemain terbaik dunia bersama AC Milan di dunia nyata, bertahun-tahun kemudian. Hal serupa terjadi untuk banyak pemain lainnya, seperti Robin van Persie, Jesus Navas, Radamel Falcao, Kun Aguerro, dan Moussa Sissoko (yang di Euro 2016 begitu menonjol untuk Timnas Prancis, biasanya di FM saya beli secara gratis dari klub Prancis-Toulouse). Seakan ada rasa ikut memiliki atas kesuksesan pemain-pemain tersebut di dunia nyata, ada kepuasan tersendiri pernah menemukan bintang sebelum bersinar terang.
- Ketika masih kuliah di STAN dan tinggal di komplek PJMI Bintaro, ada sebuah warung nasi goreng yang menjadi langganan kami (bahkan sampai sekarang mie rebus buatan warung itu adalah yang terenak yang pernah saya makan). Melihat langsung telur dadar dibuat menjanjikan sensasi tersendiri, melihat bagaimana sebutir telur yang dituang kedalam penggorengan penuh minyak (istilah kerennya deep fried) kemudian menjadi telur dadar besar, jauh lebih lebar dan tebal daripada kalau menggoreng sendiri. Apalagi saat dimakan, telur dadar itu begitu juicy! (Mungkin karena banyaknya kandungan minyak. Mungkin sangat tidak sehat karena minyak gorengnya entah sudah berapa hari tidak diganti. Tapi tetap enak!).
Rasa-rasanya masih ada banyak hal
lain yang oddly satisfying for me, dan itu bagus karena setidaknya semakin
sering bisa merasa satisfy, artinya semakin sering merasakan kebahagiaan.
Seperti kata orang, Jangan Lupa Bahagia.
No comments:
Post a Comment