Kapan masa terindah bagi
seseorang?
Ada yang
mengatakan hidup di tahun 90-an adalah masa terindah. Ratusan posting tentang
hal itu beredar di internet, mengagungkan masa 90-an dan membandingkan dengan
kehidupan anak jaman sekarang. Sebagian lagi mengatakan masa SMA adalah masa
terbaik dalam hidup mereka, dan selalu mencari cara untuk mengenang bahkan
menjalani kembali masa SMA itu, seperti ikut group chat dan menginisiasi
ngumpul bareng.
Bagi saya sendiri,
masa SMP dan SMA memang berkesan tapi tak begitu indah karena saya tinggal
indekost dan harus berpikir setiap hari untuk kebutuhan sehari-hari seperti apa
menu makan untuk esok hari, atau kapan harus mencuci pakaian. Kebetulan masa
itu terjadi di awal 2000-an, jadi secara de facto saya ikut aliran memuja tahun
90-an.
Menjalani masa
kecil di tahun 90-an memang sangat sempurna (karena itu saja yang saya alami).
Kami sudah bisa
bersekolah yang layak, karena pembangunan sekolah dan akses jalan sudah jauh
lebih baik dibanding jaman orang tua kecil dulu. Meskipun di sekolah kami tetap
diwajibkan ikut pembersihan sekolah, ikut mengambil material pasir dan kerikil
dari sungai untuk perbaikan gedung SD, tapi kami menjalaninya dengan ceria.
Sudah ada buku perpustakaan, sudah ada meja kelas yang layak, sudah ada banyak
Bapak dan Ibu Guru yang telaten mengajar. Tak ada yang dipusingkan dengan
gugatan hukum akibat cubitan oknum guru atau aduan HAM.
Kami sudah bisa
bermain yang layak, tak dihantui penjajah dan ancaman wabah penyakit seperti
halnya jaman orang tua kami kecil dulu. Saat itu sudah ada gadget, yakni
gamebot sewaan lengkap dengan talinya dan Bapak penjaganya yang berjalan kaki
puluhan kilometer untuk menjangkau sekolah-sekolah. Sudah ada persewaan Sega
dan Nintendo juga, saya ingat pernah menyewanya untuk bermain Contra. Tapi
gadget itu hanya menyita waktu sangat sebentar, sebagian besar waktu kami dulu
habiskan untuk bermain berbagai macam permainan yang entah siapa yang
mengajarkan pertama kali pada kami.
Banyak permainan
yang menurut saya saat ini sudah sangat langka dimainkan, dan saya sendiri pun
agak kesulitan untuk mengajarkannya pada keponakan-keponakan saya. Permainan
terkenal seperti ‘Lompat Karet’, ‘Gobak Sodor’, kasti, dan ‘Engklek’ sering
kami mainkan, ada pula permainan yang bahkan kami tidak tahu nama pastinya dan
sebagian besar adalah pengembangan dari permainan yang sudah ada.
Ada permainan ‘Adu
Keket’ yakni bermain adu kuat antar anak, caranya dengan menempalkan biji Asam
ke sepotong keramik dengan perekat alami seperti getah jarak lalu diadu dengan
saling dikaitkan dan yang tetap bertahan biji Asamnya di keramik yang menang.
Ada permainan ‘Adu Bola Tanah’ yakni kami akan membuat sebuah bola seukuran
bola tenis dari tanah liat lalu dikeringkan, bola ini kemudian kami gulirkan
hingga beradu dengan bola lain, dan bola yang tetap utuh yang menang. Ada
permainan ‘Adu Kartu’ yakni mengadu kartu-kartu bergambar aneka film yang
ternama jaman itu seperti Jiban, Satria Baja Hitam, Power Ranger. Caranya
dengan melempar 2 kartu ke udara, dan kartu yang jatuh dengan gambar yang
menghadap ke atas yang menang. Ada permainan ‘Tembing Gandong’ yakni bermain
berpasangan, 1 orang bertindak menggendong rekan yang lainnya, dan tugas yang
digendong adalah membidik tumpukan batu yang telah disusun hingga jatuh atau
membidik batu milik lawan yang ada di tanah. Permainan ini memang agak ekstrim
dan mengandalkan fisik, tapi seinget saya permainan masa itu memang kalau
dimainkan di jaman sekarang maka anak-anaknya akan bermain dengan helm,
pelindung siku, sepatu, dan mungkin masker.
Saat itu di SD
saya ada permainan perang ketapel, dengan ketapelnya dibuat dari bungkus permen
Sugust yang diikat kedua ujungnya dengan karet. Peluru yang digunakan adalah
buah pohon Beringin yang kecil dan berwarna kuning. Modelnya mungkin mirip
paintball jaman sekarang, tapi lebih barbar, karena kami bermain tanpa pelindung
apapun. Sakit memang kalau sampai kena tembak dan tentu baju menjadi kotor
berwarna kuning (dan pasti dimarahi sampai di rumah), tapi akibat yang lebih
drastisnya adalah gedung sekolah yang baru saja di cat menjadi meriah dengan
aneka cipratan kuning dimana-mana, bahkan sampai di dalam kelas. Seinget saya
permainan ini kemudian dilarang di sekolah.
Ada sangat banyak
permainan yang tersedia saat TK dan SD dulu, dan kami biasanya harus memutuskan
mau bermain apa sesuai kondisi dan jumlah orangnya, kalau sekarang mungkin
memilih games apa yang dimainkan di smartphone. Selain bermain di sekolah,
sepulang sekolah juga kami masih aktif, kadang bermain gundu (ada berbagai
jenis permainan gundu), petak umpet, main layangan, berenang di sungai,
menjelajah sawah-sawah hingga ke desa tetangga, dan salah satu yang paling aneh
adalah berburu laba-laba. Jadi saat itu kami berkeliling desa untuk
mengumpulkan laba-laba besar, untuk kami pelihara di rumah, dan kadang kami adu
(kami anak-anak yang aneh ya?). Yang paling berkesan dari kegiatan jalan-jalan
menembus sawah, hutan, lembah, dan sungai adalah ketika kami saling
menakut-nakuti bahwa ada hantu, lalu kami lari pontang-panting ketakutan, meski
itu di siang hari yang cerah.
Ada juga adat di
desa saya dulu, kalau ada gerhana bulan maka seluruh warga akan keluar rumah dan
membuat bunyi-bunyian yang bising sambil berteriak supaya ‘Kala Rau’ yang
sedang ‘memakan’ bulan segera mengeluarkan lagi bulan (cerita rakyatnya ‘Kala
Rau’ ini adalah raksasa, tapi hanya berbentuk kepala saja, sehingga setelah
memakan bulan akan keluar lagi melalui lehernya). Sangat meriah suasananya.
Saat saya kecil juga baru-baru dikenal kegiatan jogging pagi. Jadi biasanya
kami di sekolah sudah janjian, dan esoknya sekitar pukul 4 pagi akan dipanggil
oleh kawan-kawan untuk lari pagi bersama melintasi desa. Meski pukul 4 pagi dan
gelap gulita, tapi saat itu sangat populer dan banyak yang ikut. Di desa di
Bali hampir setiap rumah memelihara anjing, dan ada beberapa tipe anjing yang
kelewat agresif, bahkan kami hanya jogging saja bisa dikejar dan digonggong
sepenuh hati dan tentu membuat kami ketakutan dan berlarian seperti maling.
Biasanya kalau kami berhenti tiba-tiba dan benar-benar diam tak bergerak, maka
anjing-anjing itu tidak akan menggigit dan meninggalkan kami dengan tenang.
Tapi di saat seperti itu, selalu saja ada yang jahil dan tiba-tiba berlari
kencang, sehingga anjing-anjing terpicu lagi mencecar kami.
Masa kecil itu
memang indah, indah karena kami hanya hidup untuk bermain, tanpa memikirkan
tanggung jawab apapun, belum ada beban hidup seperti halnya sekarang setelah
dewasa. Mungkin anak jaman sekarang tidak dikaruniai kesempatan untuk bermain
seperti kami dulu, tapi mereka sekarang memiliki aneka games di gadget orang
tuanya, bisa jalan-jalan ke tempat wisata, bisa bermain di mall, dan
sebagainya. Mungkin anak jaman sekarang terkesan hiper-aktif, jangan salahkan,
makanan mereka jauh lebih berkalori daripada jaman kami dulu, tapi aktivitas
fisik permainannya jauh berkurang. Andai dulu kami dalam sehari hanya di rumah
saja, mungkin kami juga akan loncat-loncat di kasur hingga pukul 12 malam
sebelum bisa tidur.
Selamat Hari Anak
Nasional, mari bersama lindungi keceriaan Anak Indonesia.
Coba ceria ini diseriusin, bisa kyk ceritanya ikal dah
ReplyDeleteHmm..maybe baby..
Delete