Monday, December 14, 2015

Saya Tak Suka Kejahatan

Lho, memang ada yang suka?
Ada kok. Penjahat memiliki istri dan anak-anak yang mencintainya. Perusahaan pembakar hutan Sumatera dan Kalimantan memiliki banyak karyawan yang menggantungkan isi periuk nasinya dari keberadaan perusahaan itu. Ajaran atau aliran sesat juga dihormati oleh penganutnya dan dibanggakan oleh penciptanya.

Kejahatan akan selalu ada di dunia ini seberapapun dicoba untuk dibasmi, karena adanya kejahatan membuat keseimbangan dengan kebaikan. Dalam budaya Bali hal ini disebut 'Rwa Bhineda'; sastrawan menyatakannya sebagai 'dua sisi mata uang'; ekonom mengandaikan seperti 'permintaan' dan 'penawaran'; bahkan atom yang menyusun semua materi terdiri dari proton (+) dan elektron (-).

Tapi tetap saya tak suka kejahatan.

Beberapa waktu lalu saya membaca berita tentang ada wisatawan asing yang menjadi korban pembacokan dan perampokan di salah satu kawasan wisata di Lombok. Saya sedih karena Lombok yang memiliki keindahan alam luar biasa menawan (dan lengkap) harus ternoda kejadian itu. Bahkan siang ini saat mengunjungi seorang pemilik hotel di salah satu lokasi berselancar utama di Lombok, dia menyampaikan bahwa hotelnya sangat sepi karena tak ada yang berani keluar malam takut adanya perampokan. Di Indonesia mungkin hal-hal seperti ini tak terdengar, tapi di luar negeri berita kriminal terhadap wisatawan asing masuk ke media nasional dan internet, dan sangat mempengaruhi keputusan wisatawan untuk datang ke Indonesia.

Semakin saya tak suka kejahatan, karena tindakan perampok itu membuat industri pariwisata terhambat, padahal pariwisata adalah industri padat karya dan kebetulan Indonesia ini dititipkan modal keindahan alam oleh Tuhan. Wisatawan asing rela bepergian melintasi setengah Bumi demi merasakan sendiri titipan Tuhan itu. Setengah Bumi! Tuan rumah saya yang sekarang promosi di Papua saja butuh 2 hari untuk pulang ke Lombok.

Makanya saya tak suka kejahatan.

Selama perjalanan tadi seorang teman bercerita bahwa dia baru saja kehilangan Drone yang baru dibelinya di Bandara. Drone yang dikemas dalam sebuah box itu hilang ketika pengambilan bagasi. Petugas bandara menyatakan box seberat 8 kg itu hilang dan mengganti rugi sebesar Rp200.000,00 per kilogram. Dan teman saya membeli Drone itu seharga Rp16 juta! Dia bilang "yah belum rejeki. Nanti kerja lagi nabung lagi, semoga bisa beli lagi".

Andai Indonesia bisa seperti Swedia dan Belanda yang saking sedikitnya kriminalisme, menutup belasan penjara karena kekurangan narapidana. Atau seperti Cina yang menghukum mati para koruptor, atau setidaknya pejabatnya seperti di Jepang yang Korea Selatan yang segera mengundurkan diri jika gagal apalagi melanggar norma-norma yang berlaku.

Andai Indonesia bisa seperti itu, saya tetap tak suka kejahatan.

P.S. : bukan berarti saya tak pernah berbuat jahat dan tak akan pernah berbuat jahat.


No comments:

Post a Comment