Thursday, October 17, 2013

Nikmati Nasimu Selagi Hangat

Sebagai orang Indonesia, nasi tentunya mendapat tempat spesial dalam keseharian kita, tak lengkap rasanya kalau belum makan nasi dalam sehari. Saya sendiri sangat mengutamakan nasi saat makan, karena seenak apapun lauknya, kalau nasinya belum matang atau lembek, makannya jadi tak sedap. Pernah ketika masih bertugas di Sumbawa Besar, makan bareng rekan kantor di "restoran" (lebih kepada Rumah Makan) di pinggir pantai Labuhan Sumbawa. Lauknya menawan, ikan bakar bumbu pedas, tempe tahu goreng, telur dadar, dan tentu saja plecing kangkung khas NTB. Tapi begitu makan nasinya yang lembek-cenderung kurang matang, nafsu makan langsung hilang. Akhirnya masakannya ga habis, mahal pula. Untung makannya dibayarin.

Mungkin kecintaan saya pada nasi efek dari memiliki ibu yang sangat pintar memasak, bahkan hajatan besar di Desa seringkali ibu turut membantu di dapur umumnya. Teringat waktu kecil, cukup dengan nasi hangat sudah bisa makan enak. Nasinya dicampur garam dan minyak kelapa, lalu dikepal-kepal (so that's why namanya nasi kepal), wih lezat! Ibu juga sering memasak Ikan Pindang goreng bumbu pedas, sehabis ikannya diangkat dari wajan, giliran saya masukkan nasi supaya dapat sisa-sisa bumbu pedas di wajan, itu juga la to the ziz! Nikmati nasimu selagi hangat!

Yang tadi serius lho, karena mungkin beberapa tahun lagi nasi akan menjadi semakin mahal bahkan semakin langka. Negara yang mencita-citakan swasembada beras ini, makin lama makin berat memenuhi kebutuhan besar nasional. Penduduk yang terus bertambah setiap tahun berbanding terbalik dengan luas lahan pertanian. Lahan sawah Indonesia hanya 8,06 juta hektar dan tegalan/kebun 12,28 juta hektar (BPS, 2009). Indonesia memang amat tertinggal dalam penyediaan lahan pertanian, khususnya sawah. Amerika Serikat memiliki lahan pertanian sekitar 175 juta hektar, India (161 juta), China (143 juta), Brasil 58 (juta), Thailand (31 juta), dan Australia (50 juta). Luas lahan pertanian Indonesia yang hanya 1/4 dari luas lahan yang dimiliki Thailand (dengan populasi "cuma" 61 juta orang), jadi sangat wajar jika sampai saat ini kita masih mengimpor beras dari Thailand.

Penyusutan lahan pertanian ini sangat terasa bagi Anda yang tinggal di pedesaan atau sering melewati persawahan. Di seluruh pelosok negeri, sawah-sawah telah berubah menjadi Ruko atau perumahan modern minimalis baru, namanya pun mentereng dengan embel-embel residence, regency, bahkan puri. Cocok bagi kalangan ekonomi menengah Indonesia yang tumbuh pesat.

Jangan salahkan developer, mereka hanyalah pebisnis yang semata-mata memanfaatkan peluang yang ada. Jangan pula menyalahkan petani, harga tanah sawahnya yang ditaksir tinggi tentu amat menggiurkan jika dibandingkan dengan rendahnya harga beras, susahnya mendapatkan pupuk murah (pupuk mahal juga sama susahnya), dan masa depan sawah yang tak jelas. Anak yang telah susah payah disekolahkan ke pergururan tinggi tentu lebih memilih menjadi Dokter, kryawan bank, atau sekedar membuka kios pulsa dan ponsel bekas.

Berkaca dari apa yang terjadi pada kedelai akhir-akhir ini, bukan tidak mungkin beras mengalami nasib yang sama. Kedelai sempat mengalami kelangkaan dan harganya melambung tinggi, hal ini karena Amerika Serikat sebagai pengekspor utama kedelai Indonesia, mengalihfungsikan lahannya untuk menanam jagung yang lebih bernilai ekonomis, terutama untuk sumber bahan bakar nabati.

Jadi sekali lagi saya katakan, nikmati nasimu selagi hangat!

No comments:

Post a Comment