Tuesday, September 18, 2018

Ini Nostalgia


Menulis kembali di blog ini adalah nostalgia!

Siapa yang tak suka bernostalgia? Bahkan kenangan buruk di masa lalu bisa menjadi kisah seru dan lucu jika diingat sekarang, apalgi kenangan yang indah. Teman masa kecil, permainan tradisional di desa, lagu yang sering diputar di radio, film kartun Indosiar yang selalu ditunggu di Minggu pagi, hingga makanan yang rela dibeli dengan menempuh ratusan meter jalan kaki dan berhari-hari menabung (Ok, dalam kasus saya ini Nyam Nyam, di awal 90-an hanya sedikit yang menjualnya di Desa Penglatan).
Winspector dan robot kuning yang bisa jadi motor!

Nostalgia pula yang membuat Padi Reborn sanggup membius ribuan penonton di Soundrenaline 2018 meski setelah vakum 7 tahun dari belantika musik Indonesia dengan nama band  Padi. Lagu demi lagu andalan yang dibawakan fasih dinyanyikan oleh seluruh penonton, yang meski lupa tanggal jadian atau bahkan hari itu tanggal berapa, tapi ingat lirik lagu yang populer di era 1999 hingga 2000-an. "Tetaplah menjadi bintang di langit agar cinta kita akan abadiii..."

Sebagai sebuah brand, sebuah produk, Padi telah menjalani siklusnya, mulai dari pengenalan di tahun 1999 melalui album pertamanya, pertumbuhan jumlah penggemar (fame and fortune baby, fame and fortune!), tahap kedewasaan atau kematangan (jadwal manggung padat hingga bisa lebih dari 1 tempat dalam sehari), hingga yang tak bisa dihindari pun terjadi: penurunan popularitas. Secara teori ekonomi hal ini disebut dengan Daur Hidup Produk (product life cycle). Jika manusia mengalami tahap penurunan karena usia tua dan kematian, demikian halnya produk (apalagi produk yang berkaitan dengan manusia). Bisa jadi penurunan terjadi karena usia personilnya yang tak lagi mampu mengimbangi image produk di awal (Seperti Super Junior yang tak akan selalu junior), kejenuhan personilnya (kasus ekstrim bahkan kejenuhan akan popularitas bisa berujung depresi, penggunaan obat terlarang, dan bunuh diri. RIP all those rock band superstars), kejenuhan pasar atau penggemarnya, hingga kalah bersaing dengan produk lain.

Meski telah mencapai tahap akhir siklusnya, Padi mampu ‘hidup’ kembali dengan melakukan pergantian nama (untuk produk lain bisa jadi melakukan repackage, remasterred, remake, facelift, dan sebagainya) dengan mengambil momentum nostalgia. Fans Padi yang dulunya anak-anak, kini telah tumbuh menjadi kalangan pekerja yang tentu sanggup untuk membeli tiket konser sekaligus mengajak teman dan keluarganya. Jangan heran jika harga konser artis lawas seperti Sir Paul McCartney dan Celine Dion sangat mahal, karena mereka memiliki basis penggemar kalangan senior yang telah memiliki cukup uang dan sejuta kenangan. Momentum nostalgia pula yang dimanfaatkan Hollywood dalam membuat film sehingga mampu meraup pendapatan, selain dari segmen usia yang dituju juga dari kalangan middle age yang akan bernostalgia, untuk menonton film seperti Jurassic World, Star Wars, The Magnificent Seven, hingga The Predator yang saat ini sedang tayang di bioskop.

Nuansa masa lalu disisipkan dalam film baru melalui cuplikan adegan film lama yang iconic atau pemeran yang sama muncul kembali sebagai cameo atau bahkan hanya musik pengiring yang sama seperti ketika Darth Vader muncul di film Star Wars IV (1977) dengan Rogue One (2016), sudah sangat nostalgic! (di industri film lokal juga sama, contohnya Warkop DKI Reborn yang membawa nuansa kental serial Warkop DKI lama). Saya mengalami sendiri ketika menonton Ready Player One di bioskop Mataram, sebagian penonton sudah berusia lebih 30 tahun, bersorak dan bertepuk tangan ketika film usai, karena memang film tersebut seperti didedikasikan untuk kami yang hidup di tahun 80-an hingga 90-an.
Sebuah scene, banyak nostalgia. Ready Player One!

Jadi ingat waktu kecil dulu menonton acara Tembang Kenangan di Indosiar dan melihat Opa Oma penonton akan tersenyum, tertawa, dan berdansa bersama diiringi lagu-lagu lama era 60-an 70-an (dan di akhir acara mengumpulkan donasi yang besar). Sel-sel abu-abu di kepala mereka tentu sedang bernostalgia mengenang masa lalu yang indah (meski nyatanya kehidupan muda mereka keras, penuh perjuangan, dan tak selalu indah). Saya tidak akan heran jika 20-30 tahun nanti saya akan tersenyum, tertawa, dan berdansa ketika mendengar lagu Linkin Park dan Martin Garrix dimainkan.



No comments:

Post a Comment