Saturday, September 11, 2021

Kintamani yang sedang digemari

"Promo menginap Rp200ribu semalam lengkap dengan sarapan, api unggun, view Gunung Batur, gratis tiket air panas, dan tersedia paket sunrise tracking."

Iklan di IG. Ternyata yang di foto itu owner-nya

Caption Instagram tersebut memancing perhatian saya dan membuka kembali peluang untuk liburan ke Kintamani dengan harga terjangkau. Jarak dari Jimbaran membuat liburan bermotor ke Kintamani terlalu melelahkan andai tak menginap. Pengalaman berlibur ke Kintamani sebelumnya sudah lebih dari tiga tahun lalu, bahkan saat itu pun biaya menginap dan makan di Kintamani termasuk lebih tinggi daripada Denpasar. Wajar sih mengingat lokasinya terpencil, kondisi serupa terjadi di Gili Trawangan dan Sembalun di Lombok.

Seperti biasa saya kemudian melakukan mini riset tentang hotelnya, seperti melihat review di IG dan Google Maps; juga rencana kegiatan selama sehari berada di Kintamani; dan yang terpenting adalah opsi makan dimana! Setelah semua komplit, langsung pasang maps, susun playlist Spotify, gas menuju lokasi.

Instagram forced them to change

Rencana awal saya adalah sampai di Kintamani siang hari dan makan siang di Tegukopi, salah satu cafe hits selain Montana-yang amat famous di IG. Ternyata sepanjang jalan raya  Kintamani, cafe dan warung yang menghadap Gunung Batur telah dan sedang bertransformasi dengan konsep modern minimalis ala Montana. Saya putuskan coba saja salah satu random, Attalas Cafe, bahkan belum ada di maps karena baru berdiri hasil memugar warung tradisional.

Attalas Cafe

Saya berada di cafe lumayan lama, sekitar tiga jam (ada acara via Zoom, tapi cafenya belum ada wifi-nya, yah!), dan selama itu pula hanya saya pengunjungnya. Mujair Nyat-Nyat dan jus mangga yang dihidangkan enak dan harganya juga masuk akal. Semoga segera mendapat pelanggan tetap ya Attalas Cafe!

Gunung Batur dari kejauhan

Dari cafe kemudian langsung menuju hotel, dan sepanjang jalan itulah saya melihat warung tradisional yang dulunya dominan batu dan karang berukir, sedang direnovasi menjadi serba putih dan penuh kaca. Udara Kintamani tak sedingin yang saya ingat dulu, masih sangat nyaman untuk dilalui dengan sepeda motor tanpa harus menggigil kedinginan.

Danau Batur dan keramba ikan mujair

Pondok Felysia yang bersahaja

Perjalanan sepanjang jalur Danau Batur memang indah sangat! Sangat memanjakan mata mulai dari Gunung Batur, Danau Batur dengan Gunung Abang di belakangnya, hamparan savana karang bekas lelehan lahar dahulu kala, bersatu dengan udara dingin dan jalan mulus meliuk-liuk. Baru saat itu juga saya perhatikan ternyata ada banyak pemandian air panas. Sebelumnya saya beberapa kali ke Batur Natural Hot Spring (Air Panas Toya Bungkah) yang lokasinya berdekatan dengan Toya Devasya, dua tempat air panas yang sudah well developed tapi harga tiketnya juga sesuai ya (keduanya di atas Rp50ribu untuk dewasa). Jadi di kepala saya, mandi air panas itu rada mahal.

Tak terasa gosong abis foto ini

Pondok Felysia letaknya agak masuk dari Jalan Raya Songan, melalui jalan tanah seukuran satu mobil, namun harus sedikit berhati-hati karena beberapa bagian licin akibat tanahnya terlalu gembur. Pondok Felysia memiliki tiga pondok terpisah, sebuah rumah yang bisa digunakan untuk tamu andai diperlukan, dan satu dapur. Tamannya kecil tapi cantik! Kontras dengan jalan tanah di depan pondok, berada di tamannya sangatlah nyaman, apalagi untuk berfoto. Pemiliknya adalah pasangan lokal (ibunya warga asli Songan, suaminya dari Tianyar) yang berinvestasi membuat penginapan sederhana dari kayu tapi kokoh dan nyaman dihuni.

Gunung Batur jadi backdrop pondok

Sering kali saya menginap di hotel dengan konsep kayu dan beberapa kualitas bangunannya sangat ringkih sehingga setiap melangkah lantainya bunyi (bahkan ada yang jebol!), tapi Pondok Felysia ini kokoh, dengan kasur yang nyaman, dan paling penting adalah ada air panas yang konsisten setiap saat (pernah juga menginap di Sembalun dan air panasnya cuma mampu panas satu gayung, sisanya dingin, panas lagi sekitar 30 menit kemudian dan itu satu gayung juga!). Promo yang ditawarkan di IG benar adanya, jadi di malam hari akan disediakan api unggun kalau kita mau dan dilayani oleh pemiliknya, serta saya diberi petunjuk lokasi air panas yang bernama Bali Volcano Natural Hot Spring.

area piknik yang cozy

Air panas alami dengan harga mencuri hati

Sewaktu membaca promonya, agak heran juga bagaimana caranya harga menginap Rp200 ribu bisa sekaligus gratis air panas (karena asumsi harga BNHS dan Toya Devasya), ternyata tempat yang saya tuju Bali Volcano Natural Hot Spring (BVNHS) ini tiket masuknya Rp10ribu! Ada dua kolam dengan ukuran sedang dan kedalaman mungkin 80cm, airnya bersih dan panasnya sangat terasa apalagi kalau merendam wajah, menyengat! Pemandian ini disukai warga sekitar (karena murah, tentu), jadi waktu optimal untuk berada disana sebaiknya tidak bersamaan dengan jadwal warga yang biasanya datang pukul 6 sore. Saya berendam (dan foto-foto) sendirian di kolam itu pukul 4--5 sore, benar-benar seperti berada di video lagunya Gus Teja.

kolam utama, bila berdiri tampak Danau Batur

Air panas yang ada di sepanjang pinggir danau berasal dari panas bumi Gunung Batur dengan sedikit kandungan belerang, jadi tidak ada bau menyengat dan tidak membuat noda di baju. Udara bisa sangat dingin, jadi berada di luar kolam seperti siksaan tersendiri (berendam air panas sebaiknya tiap 15 menit keluar kolam agar kulit tidak iritasi, dan jangan lupa minum air putih). Air di kamar mandi juga hangat, nyaman untuk mandi dan berganti pakaian. Untuk Rp10ribu, ini sih enak banget! (bahkan gratis karena promo dari Pondok Felysia).

Waktunya warga sekitar menikmati air panas

Mendadak naik Gunung Batur, Pak!

Awalnya saya hendak mengikuti paket sunrise yang ditawarkan pondok, dengan biaya Rp100ribu diantar menuju Bukit Caldera, mendaki 5 menit sudah sampai di lokasi matahari terbit. Setelah dipertimbangkan lagi, tampaknya saya sanggup mendaki Gunung Batur. Akhir-akhir ini saya rutin jogging 5 km dan masih ada rasa penasaran karena dulu gagal mendaki Gunung Agung dan batal mendaki Gunung Rinjani. Dengan berbekal dua botol air minum, sepatu jogging, dan baterai HP penuh, esok subuhnya saya berangkat menuju lokasi pendakian.

Udara jam 3 subuh di Kintamani sangat berbeda, sangat dingin! Sepanjang jalan dari pondok sampai ke Pura Pasar Agung (titik awal pendakian) perut menggigil meronta. Sampai parkiran pukul 4 pagi terlihat 2 mobil dan mungkin 6 sepeda motor yang telah parkir dan bersiap untuk mendaki. Karena saya tidak tahu jalan yang harus dilalui, jadi saya tunggu sampai ada tanda-tanda orang berangkat dan saya akan menguntit di belakangnya (malu kalau minta gabung). Melihat tiga cahaya senter mulai menanjak, dan saya pun turut serta. Ternyata selain sepatu yang tidak cocok, saya juga lupa kalau harus memakai senter, beruntung senter di HP sangat mampu untuk membantu perjalanan.

Jalur pendakian dipenuhi batu kerikil kecil yang rajin berguling, jadi kalau tidak hati-hati akan mudah terpeleset (dan disini peran penting senter untuk memilih jalur berpijak), beberapa tanjakan curam tapi kebanyakan mudah dilalui tanpa perlu tongkat mendaki. Saya ikuti cahaya senter di depan, kadang mereka menghilang karena saya sibuk mengabadikan momen di perjalanan, tapi meski bercabang sebenarnya jalur pendakian hanya satu dan percabangan itu akan terhubung lagi. Pukul 05.15 saya sampai di puncak, dan ketiga orang di depan itu menuju warung dan mulai beberes, oalah, jadi mereka pedagang di sana!

Indahnya Sunrise dari puncak, gaes!

langsung terpana!

Pukul 05.30 mulai nampak semburat kemerahan di ujung timur diantara lekatnya kabut di puncak gunung dan semilir udara dingin yang menemani sejak awal pendakian (saya sendiri pakai jaket, syal, dan sarung tangan tebal). Dari puluhan perjalanan mengejar sunrise yang saya lakukan, ini adalah yang terindah! Berikutnya Gunung Kelimutu di Ende, ah itu selain indah jalur pendakiannya sangat gampang tak sampai 30 menit.

Kesempatan abadikan pasangan

Danau Batur yang berselimut kabut bertabur cahaya lampu rumah warga, berdiri kokoh di belakangnya Gunung Abang, dan tampak mengintip sangat kecil Gunung Rinjani. Suasana di puncak saat itu tidak terlalu ramai, sekitar 30 pendaki tersebar di puncak, ada beberapa anjing yang dipelihara oleh pemilik warung, dan nantinya ketika mulai terang, kawanan monyet datang dengan semangat mengulik bawaan para pengunjung. Saya beruntung bisa meminta bantuan seorang pengunjung untuk berfoto di puncak, inilah kelemahan kalau jalan sendirian.

terima kasih adik yang fotoin

Masih ingat kerikil berguling tadi? Mereka berkeras untuk diingat!

Pukul 06.30 saya merasa sudah cukup menikmati indahnya pagi, dan memutuskan untuk turun lebih dulu dibanding pendaki yang lain. Masalahnya adalah pemandangan ketika turun berbeda dengan ketika naik, jalan tampak sangat banyak pilihan dan saya takut salah jalan akhirnya tidak sampai ke lokasi parkiran (ada titik pendakian lain selain Pura Pasar Agung). Ketika mulai ragu itulah, saya melihat ada tiga anjing hitam yang memandang saya, dan kemudian mereka turun pelan sambil sesekali menoleh, seakan mereka mengerti saya perlu pemandu jalan.

Tak sempat foto anjing hitam, ini anjing penghuni puncak

Mengikuti ketiga anjing hitam adalah hal mudah di jalan biasa, tapi kerikil kecil yang senantiasa berguling membuat lutut saya harus bekerja keras! Sepertinya saya dua kali terpeleset dan beberapa kali harus agak berjongkok ketika turun karena sangat licin, ditambah saya pakai sepatu jogging yang tidak ada gerigi di bawahnya. Setelah sampai di Pos I, anjingnya sudah tidak terlihat tapi jalur untuk turun sudah jelas dan saya pede melanjutkan perjalanan kembali sendirian, berpapasan dengan beberapa monyet yang mengacuhkan saya (mungkin karena saya tidak bawa makanan apapun).

kerikil sepanjang jalan

Perjalanan turun sampai Pura Pasar Agung sekitar satu jam dan seluruhnya tertatih berkat kerikil dan kontur turunan, lebih cocok untuk bermain prosotan (kalau berani). Pura Pasar Agung juga menawarkan pemandangan yang indah, ke arah Gunung Batur maupun ke arah Danau Batur. Dari parkiran menuju keluar area Gunung Batur, akan ada pecalang yang bertugas mengingatkan pengunjung untuk memberi donasi sukarela untuk pemeliharaan lokasi pendakian.

Pura Pasar Agung nan menawan

Sampai Jumpa lagi, Kintamani!

Selepas sarapan nasi goreng dari pondok, mandi air hangat, dan tidur sebentar, waktunya untuk berpisah dengan Kintamani. Saya perkirakan biaya yang saya habiskan untuk liburan singkat ini sangat terjangkau, terutama karena penginapan (yang sekaligus sudah air panas) yang murah sekali! PR berikutnya adalah tubuh yang telah lelah mendaki, masih harus melalui perjalanan menuju Jimbaran untuk kembali ke rumah. Gas!

Yok bisa yok!
Sampai nanti sampai bertemu lagi


2 comments: