Saturday, July 23, 2016

Selamat Hari Anak Nasional, selamat menikmati masa kanak-kanak!



Kapan masa terindah bagi seseorang?
Ada yang mengatakan hidup di tahun 90-an adalah masa terindah. Ratusan posting tentang hal itu beredar di internet, mengagungkan masa 90-an dan membandingkan dengan kehidupan anak jaman sekarang. Sebagian lagi mengatakan masa SMA adalah masa terbaik dalam hidup mereka, dan selalu mencari cara untuk mengenang bahkan menjalani kembali masa SMA itu, seperti ikut group chat dan menginisiasi ngumpul bareng.

Bagi saya sendiri, masa SMP dan SMA memang berkesan tapi tak begitu indah karena saya tinggal indekost dan harus berpikir setiap hari untuk kebutuhan sehari-hari seperti apa menu makan untuk esok hari, atau kapan harus mencuci pakaian. Kebetulan masa itu terjadi di awal 2000-an, jadi secara de facto saya ikut aliran memuja tahun 90-an.

Menjalani masa kecil di tahun 90-an memang sangat sempurna (karena itu saja yang saya alami).
Kami sudah bisa bersekolah yang layak, karena pembangunan sekolah dan akses jalan sudah jauh lebih baik dibanding jaman orang tua kecil dulu. Meskipun di sekolah kami tetap diwajibkan ikut pembersihan sekolah, ikut mengambil material pasir dan kerikil dari sungai untuk perbaikan gedung SD, tapi kami menjalaninya dengan ceria. Sudah ada buku perpustakaan, sudah ada meja kelas yang layak, sudah ada banyak Bapak dan Ibu Guru yang telaten mengajar. Tak ada yang dipusingkan dengan gugatan hukum akibat cubitan oknum guru atau aduan HAM.

Kami sudah bisa bermain yang layak, tak dihantui penjajah dan ancaman wabah penyakit seperti halnya jaman orang tua kami kecil dulu. Saat itu sudah ada gadget, yakni gamebot sewaan lengkap dengan talinya dan Bapak penjaganya yang berjalan kaki puluhan kilometer untuk menjangkau sekolah-sekolah. Sudah ada persewaan Sega dan Nintendo juga, saya ingat pernah menyewanya untuk bermain Contra. Tapi gadget itu hanya menyita waktu sangat sebentar, sebagian besar waktu kami dulu habiskan untuk bermain berbagai macam permainan yang entah siapa yang mengajarkan pertama kali pada kami.

Banyak permainan yang menurut saya saat ini sudah sangat langka dimainkan, dan saya sendiri pun agak kesulitan untuk mengajarkannya pada keponakan-keponakan saya. Permainan terkenal seperti ‘Lompat Karet’, ‘Gobak Sodor’, kasti, dan ‘Engklek’ sering kami mainkan, ada pula permainan yang bahkan kami tidak tahu nama pastinya dan sebagian besar adalah pengembangan dari permainan yang sudah ada.

Ada permainan ‘Adu Keket’ yakni bermain adu kuat antar anak, caranya dengan menempalkan biji Asam ke sepotong keramik dengan perekat alami seperti getah jarak lalu diadu dengan saling dikaitkan dan yang tetap bertahan biji Asamnya di keramik yang menang. Ada permainan ‘Adu Bola Tanah’ yakni kami akan membuat sebuah bola seukuran bola tenis dari tanah liat lalu dikeringkan, bola ini kemudian kami gulirkan hingga beradu dengan bola lain, dan bola yang tetap utuh yang menang. Ada permainan ‘Adu Kartu’ yakni mengadu kartu-kartu bergambar aneka film yang ternama jaman itu seperti Jiban, Satria Baja Hitam, Power Ranger. Caranya dengan melempar 2 kartu ke udara, dan kartu yang jatuh dengan gambar yang menghadap ke atas yang menang. Ada permainan ‘Tembing Gandong’ yakni bermain berpasangan, 1 orang bertindak menggendong rekan yang lainnya, dan tugas yang digendong adalah membidik tumpukan batu yang telah disusun hingga jatuh atau membidik batu milik lawan yang ada di tanah. Permainan ini memang agak ekstrim dan mengandalkan fisik, tapi seinget saya permainan masa itu memang kalau dimainkan di jaman sekarang maka anak-anaknya akan bermain dengan helm, pelindung siku, sepatu, dan mungkin masker.

Saat itu di SD saya ada permainan perang ketapel, dengan ketapelnya dibuat dari bungkus permen Sugust yang diikat kedua ujungnya dengan karet. Peluru yang digunakan adalah buah pohon Beringin yang kecil dan berwarna kuning. Modelnya mungkin mirip paintball jaman sekarang, tapi lebih barbar, karena kami bermain tanpa pelindung apapun. Sakit memang kalau sampai kena tembak dan tentu baju menjadi kotor berwarna kuning (dan pasti dimarahi sampai di rumah), tapi akibat yang lebih drastisnya adalah gedung sekolah yang baru saja di cat menjadi meriah dengan aneka cipratan kuning dimana-mana, bahkan sampai di dalam kelas. Seinget saya permainan ini kemudian dilarang di sekolah.

Ada sangat banyak permainan yang tersedia saat TK dan SD dulu, dan kami biasanya harus memutuskan mau bermain apa sesuai kondisi dan jumlah orangnya, kalau sekarang mungkin memilih games apa yang dimainkan di smartphone. Selain bermain di sekolah, sepulang sekolah juga kami masih aktif, kadang bermain gundu (ada berbagai jenis permainan gundu), petak umpet, main layangan, berenang di sungai, menjelajah sawah-sawah hingga ke desa tetangga, dan salah satu yang paling aneh adalah berburu laba-laba. Jadi saat itu kami berkeliling desa untuk mengumpulkan laba-laba besar, untuk kami pelihara di rumah, dan kadang kami adu (kami anak-anak yang aneh ya?). Yang paling berkesan dari kegiatan jalan-jalan menembus sawah, hutan, lembah, dan sungai adalah ketika kami saling menakut-nakuti bahwa ada hantu, lalu kami lari pontang-panting ketakutan, meski itu di siang hari yang cerah.

Ada juga adat di desa saya dulu, kalau ada gerhana bulan maka seluruh warga akan keluar rumah dan membuat bunyi-bunyian yang bising sambil berteriak supaya ‘Kala Rau’ yang sedang ‘memakan’ bulan segera mengeluarkan lagi bulan (cerita rakyatnya ‘Kala Rau’ ini adalah raksasa, tapi hanya berbentuk kepala saja, sehingga setelah memakan bulan akan keluar lagi melalui lehernya). Sangat meriah suasananya. Saat saya kecil juga baru-baru dikenal kegiatan jogging pagi. Jadi biasanya kami di sekolah sudah janjian, dan esoknya sekitar pukul 4 pagi akan dipanggil oleh kawan-kawan untuk lari pagi bersama melintasi desa. Meski pukul 4 pagi dan gelap gulita, tapi saat itu sangat populer dan banyak yang ikut. Di desa di Bali hampir setiap rumah memelihara anjing, dan ada beberapa tipe anjing yang kelewat agresif, bahkan kami hanya jogging saja bisa dikejar dan digonggong sepenuh hati dan tentu membuat kami ketakutan dan berlarian seperti maling. Biasanya kalau kami berhenti tiba-tiba dan benar-benar diam tak bergerak, maka anjing-anjing itu tidak akan menggigit dan meninggalkan kami dengan tenang. Tapi di saat seperti itu, selalu saja ada yang jahil dan tiba-tiba berlari kencang, sehingga anjing-anjing terpicu lagi mencecar kami.

Masa kecil itu memang indah, indah karena kami hanya hidup untuk bermain, tanpa memikirkan tanggung jawab apapun, belum ada beban hidup seperti halnya sekarang setelah dewasa. Mungkin anak jaman sekarang tidak dikaruniai kesempatan untuk bermain seperti kami dulu, tapi mereka sekarang memiliki aneka games di gadget orang tuanya, bisa jalan-jalan ke tempat wisata, bisa bermain di mall, dan sebagainya. Mungkin anak jaman sekarang terkesan hiper-aktif, jangan salahkan, makanan mereka jauh lebih berkalori daripada jaman kami dulu, tapi aktivitas fisik permainannya jauh berkurang. Andai dulu kami dalam sehari hanya di rumah saja, mungkin kami juga akan loncat-loncat di kasur hingga pukul 12 malam sebelum bisa tidur.

Selamat Hari Anak Nasional, mari bersama lindungi keceriaan Anak Indonesia.


2 comments: