Tuesday, August 4, 2015

Sapu Lidi atau Ember


Tahun ajaran baru telah dimulai, perjalanan berangkat kantor kembali dihiasi dengan iringan murid yang berjalan kaki berangkat sekolah dan ada juga yang naik sepeda motor (meski belum cukup umur, tak pakai helm, bonceng 2 pula!). Selamat belajar generasi penerus Bangsa! Ingatlah pendidikan itu penting tapi kejujuran lebih penting lagi.

Melihat murid sekolah itu jadi ingat dulu waktu masih SD di kampung, tepatnya di SDN 1&2 Penglatan. Entah mulai kelas berapa (mungkin kelas 2), setiap pagi kami diwajibkan masuk pagi-pagi dan membawa alat kebersihan, pilihannya dulu sapu lidi atau ember, pilihan yang akan menentukan masa depan kami seterusnya (hehehe..emang pilihan kelas di Hogwarts). Membawa sapu lidi memiliki keuntungan bisa datang sekolah lebih siang daripada pembawa ember (disiram dulu baru disapu halamannya) tapi kekurangannya bagi cowok bila membawa sapu lidi maka akan dianggap cemen atau lemah, karena sapu lidi biasa dibawa murid cewek. Saya tak pernah bawa sapu lidi selama SD (sekedar konfirmasi).

Memilih membawa ember memiliki lebih banyak dinamika sosial dibanding sapu lidi (tentu waktu SD saya tak bilang "dinamika sosial"). Kami harus datang jam 6 pagi ke sekolah, mengambil air di kolam dan menyiram seluruh halaman serta pohon. Resiko celana dan baju basah (sepatu sudah pasti) sangat besar, meski kami tak pernah ganti walau sebasah apapun, punya seragam sekolah yang layak saja sudah beruntung. Selain menunjukkan bahwa kami macho, jenis ember yang dibawa juga menentukan status sosial muridnya. Yang paling umum dibawa adalah ember putih bekas cat, karena sebagian besar dari kami golongan menengah ke bawah. Ember ini besar, sangat kuat, dan bisa beralih fungsi menjadi kursi. Bagi mereka golongan lebih ke atas akan membawa ember baru warna warni, ada yang biru muda, hijau muda, merah muda, hitam muda (jadi abu-abu) dengan ukuran yang kecil. Pembawa ember ini seakan-akan punya keistimewaan untuk mengambil air lebih sedikit dibanding kami para tukang cat. Tapi ember mereka tak bisa dipakai jadi kursi, pasti pecah.

Pembawa ember juga berarti harus siap dipanggil saat sekolah membutuhkan, terutama waktu itu karena sekolah kami baru dibangun, pembawa ember (ya nyaris semua murid cowok) ikut bergotong royong mengambil kerikil di sungai yang jaraknya kira-kira 1 Km dari sekolah. Rata-rata setiap murid sanggup mengambil 3 ember kerikil (kerikilnya ringan, tapi jarak tempuhnya yang jauh naik turun bukit) tapi itu sudah sangat cukup mengingat jumlah kami banyak. Yang paling saya ingat ketika mengambil kerikil adalah proses mengeruk kerikil dari dasar sungai menggunakan tangan membuat kuku sangat kotor dan gatal-gatal di sela jari berbentuk bintil kecil berisi air, Ibu saya bilang itu karena kerikil dan air yang kotor, sampai sekarang saya tetap pegang itu. Biasanya kalau sudah tak tahan gatalnya, bintilnya saya tusuk dengan jarum yang ujungnya dibakar dulu, supaya airnya keluar dan bintilnya kempes.

Saya membayangkan jika para pembawa ember itu ada di jaman sekarang, pastilah Komnas Perlindungan Anak dipanggil atau bahkan polisi dipanggil karena dianggap penggunaan tenaga kerja di bawah umur. Tapi kami saat itu senang-senang saja, itu untuk sekolah kami sendiri dan kami masih anak-anak yang tak cuma harus belajar tapi butuh banyak kegiatan luar ruangan. Salah satu kegiatan luar ruangan favorit pasca pembersihan di pagi hari adalah main "Incang-incangan" atau istilah nasionalnya "Gobak Sodor". Jika pembersihan selesai awal, maka sekolah mengijinkan kami bermain Incang-incangan dulu, biasanya setengah jam. Saya sangat payah dalam permainan ini karena badan saya dulu kecil, kurus, dan tak bisa lari cepat. Yang paling jago adalah mereka anak kelas 5 dan kelas 6, terutama anak yang telah beberapa kali tak naik kelas, jadi badan mereka sudah besar seukuran anak SMP, lari mereka cepat, dan jangkauan tangannya juga sangat jauh. Kadang ada sesi Incang-incangan "Asenan" yaitu versi kerasnya, alih-alih cuma menyentuh, sang penjaga akan memukul atau menampar lengan mereka yang berusaha lewat. Yang boleh bermain hanya mereka yang kelas 5 dan 6. Tapi masih dalam koridor permainan, tak pernah terjadi perkelahian akibat permainan itu meski kadang terjadi marah-marahan.

Oya, tak hanya pembersihan di pagi hari, kami juga dibentuk piket untuk membersihkan kelas saat pulang sekolah, tugasnya menyapu, membersihkan papan tulis, dan menaruh kursi secara terbalik di atas meja (pemandangan ikonik sekolah negeri). Petugas kebersihan sekolah cuma ada 1 dan tak mungkin dia membersihkan 10 kelas (anak kelas 2 masuk siang, satu kelas dengan anak kelas 1) serta menyapu halaman serta merawat kebun sekolah.


Meski ingatan saya tak begitu bagus (kata dia, ingatan lalat), tapi saya senang masih bisa mengingat cuplikan kehidupan SD dulu, terutama pilihan setiap pagi untuk membawa sapu lidi atau ember.



2 comments:

  1. It happened exactly the same in my SD too kak. Kami gantian bawa sapu atau ember, misalnya senin rabu jumat bawa sapu, hari lainnya bawa ember. Bagian halaman sekolah yang disapu setiap orang ditentukan urutan datang. Yang datang paling awal dapat bagian paling kecil. Setiap bagian sudah dinamai, kesatu, kedua, dan seterusnya. Yang datang terakhir biasanya harus membersihkan wc atau membersihkan kotoran anjing di halaman sekolah hahahahaha. One good childhood memory~

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah....sistemnya udah rapi di busungbiu...
      di Penglatan kan ndak ada yg ngatur,,autonom...

      Delete