Sunday, November 6, 2016

Wisata Tanpa Terduga: Yogyakarta



Sebagai PNS, panggilan dinas disyukuri karena berarti kesempatan untuk mengembangkan diri (dalam pendidikan, pelatihan, atau seminar), sekaligus kesempatan untuk jalan-jalan dan mengenal daerah baru. Selama 8 tahun bekerja, saya telah mengalami panggilan dinas ke Jakarta (beberapa kali), Malang, Surabaya, Bandung, dan terakhir ke Yogyakarta, jadi lengkap sudah area di Pulau Jawa saya kunjungi dalam rangka kedinasan. Jika perjalanan dinas sebelumnya saya lalui dengan sedikit jalan-jalan, biasanya hanya ke Mall-nya, maka kali ini di Yogyakarta saya memang meniatkan diri untuk bertualang demi lebih mengenal daerah istimewa ini.

Ini adalah kali kedua saya mengunjungi Yogyakarta, pertama kali tahun 2015 lalu dan saat itu saya hanya sempat mengunjungi Candi Prambanan, Candi Ratu Boko, Malioboro, dan Pasar Beringharjo. Maka di kunjungan kedua ini saya memilih untuk menyewa sepeda motor seharga Rp80 ribu per hari agar lebih fleksibel dalam mengunjungi objek wisata yang menjadi incaran, dan saya beruntung karena sepeda motor sewaan merk Honda Spacy itu dalam kondisi baru dan bagus serta sangat irit!

Inilah ringkasan perjalanan tak terduga saya:
1.  Istana Air Taman Sari
Objek wisata pertama adalah Istana Air Taman Sari, masih terletak di pusat kota tapi memerlukan cukup waktu menuju ke sana karena jalan yang kecil dan petunjuk jalan agak tricky. Bahkan saya sudah sempat berhenti di tempat bertuliskan “Parkir Tamansari” setelah masuk dan melihat-lihat tapi tidak menemukan Istana Air, dan ternyata saya berhenti di Pasar Tamansari, salah satu pasar kuliner kenamaan.
Istana Air Taman Sari merupakan benteng sekaligus tempat pemandian kerajaan untuk istri dan putri kerajaan di jaman dulu. Ada 3 kolam pemandian yang dibedakan peruntukannya, dan di empat sudut bangunan terdapat wadah aroma terapi besar (jaman dulu sudah sangat maju). Areal Taman Sari sebenarnya cukup besar, tapi karena panas dan saya agak kelelahan karena baru saja tiba dari Lombok, jadi hanya sempat mengunjungi area utama kolam dan bangunan pendukungnya.
Sayangnya masih terdapat beberapa coretan vandalisme di dalam benteng, dan pengunjung yang datang juga ada yang memasukkan kaki ke kolam padahal sangat jelas dilarang.
Tips:
Meski di Google disebut buka pukul 8 pagi, tapi objek ini baru buka pukul 9 saat saya datang, mungkin karena hari kerja. Usahakan datang lebih pagi agar belum terlalu ramai dan bisa mengambil gambar, karena area kolam tidak terlalu luas akan kesulitan jika sudah ramai pengunjung.
Biaya:
Tiket masuk Rp5.000,00; Ijin Foto Rp2.000,00; Parkir Rp2.000,00
Foto:
tiket masuk, dan leaflet penjelasan lokasi

pintu masuk kawasan Taman Sari

salah satu kolam utama, dari 3 kolam
 
2.  Keraton Yogyakarta (Area depan saja)
    Dari Taman Sari menuju Keraton dan Alun-alun kira-kira 5 menit, karena memang masih satu komplek besar kerajaan. Sayangnya hari itu area dalam Keraton tidak dibuka, jadi pengunjung hanya bisa di area depan dan area museum Keraton, yang hanya sekitar 1/8 dari keseluruhan luas Keraton.
    Mengingat hanya sedikit areal yang bisa dikunjungi, tak perlu waktu lama sebelum seluruh area sudah saya jelajahi. Museumnya terlalu kecil dan sederhana, kalau digarap lebih serius lagi mungkin bisa lebih bagus.
     Tips:
     Cari di internet atau informasi dari pengelola, hari apa seluruh area Keraton dapat dikunjungi agar lebih puas menjelajah.
     Biaya:
Tiket masuk Rp5.000,00; Ijin Foto Rp2.000,00; Parkir Rp2.000,00
Foto:
 
tiket masuk dan tak lupa ijin foto

Salah satu pendopo bersejarah, terutama di jaman perjuangan

Pintu masuk pendopo

Alun-alun Keraton saat malam, masih ramai.

3.  Malioboro dan Titik Nol Kilometer
    Malioboro memang tempat yang wajib dikunjungi sehingga bisa dibayangkan jalan ini setiap saat selalu ramai, pagi siang apalagi malam. Malam hari adalah waktu paling pas ke Malioboro, kuliner lesehan berjajar di kiri jalan lengkap dengan musisi jalanan yang kreatif, dan pedagang oleh-oleh di sisi kanan jalan. Berjalan kaki menyusuri jalan ini tak akan terasa, dari ujung hingga ke Titik Nol Kilometer karena memang ramai dan ada objek-objek wisata sepanjang jalan seperti Benteng Vredeburg, Monumen Serangan Umum 1 Maret, dan beberapa Kampung Wisata di kiri-kanan jalan.
     Tips:
    Sempatkan melihat pertunjukan musisi angklung di depan Maliobo Mall pada malam hari, dan tentu saja jangan lupa berikan kontribusi Anda. Jika Anda ingin berfoto dengan papan nama Jalan Malioboro, maka harus bersabar karena banyak antrian, tapi papan nama jalan itu sendiri disediakan banyak di sepanjang jalan Malioboro, tak seperti nama jalan lain yang papan namanya hanya di awal jalan.
     Biaya:
     Tidak ada biaya masuk areal. Tapi untuk parkir di area ini agak susah, salah satunya dengan parkir di Malioboro Mall (parkirnya sangat terbatas) atau parkir di area parkir yang disediakan di luar area Jalan Malioboro.
     Foto:
 
titik Nol Kilometer, terdapat beberapa pedagang dan selalu ramai
4.  Monumen Tugu
     Di hari kedua saya di Jogja, hanya punya sedikit waktu untuk jalan-jalan karena acara kantor baru selesai sore hari (bahkan beberapa rekan masih mengerjakan tugas hingga malam hari). Meski singkat, saya sempatkan mengunjungi Monumen Tugu dengan menaiki becak. Malah ini adalah yang saya rekomendasikan untuk menuju Tugu. Dengan becak, perjalanan menuju Tugu jadi bisa dilalui dengan pelan dan Anda masih bisa menikmati nuansa di sepanjang jalan, yang utamanya kuliner terutama kuliner di depan kantor Kedaulatan Rakyat (KR) yang legendaris.
    Monumen Tugu terletak di tengah persimpangan jalan aktif, jadi kendaraan masih berlalu-lalang melewati monumen itu. Monumen ini selalu ramai menjadi pusat tempat foto di malam hari, apalagi kalau hari libur.
     Tips:
    Berhati-hati kala mengambil gambar di kawasan ini, beberapa pengunjung saya lihat terlalu di tengah jalan dalam mengambil foto padahal banyak kendaraan melintas. Better safe than sorry.
     Biaya:
   Tentu tidak ada biaya untuk areal ini, tapi siapkan uang untuk berwisata kuliner di sekitar monumen, ada pilihan lesehan sederhana ada pula cafe kekinian.
     Foto:
 
Tugu menjadi pusat persimpangan, ramai kendaraan melintas
5.  Bukit Bintang dan Embung Nglanggeran
    Hari ketiga dan acara kantor resmi selesai tak terlalu sore, sehingga dari kantor saya langsung meluncur menuju Gunung Kidul dengan berbekal Google Maps, menyusuri Jalan Raya Yogyakarta-Wonosari kira-kira selama 40 menit sebelum sampai di kawasan yang disebut Bukit Bintang. Bukit Bintang ini adalah kawasan ideal untuk melihat kota Yogyakarta dan Gunung Merapi dari kejauhan, terutama di malam hari Anda akan dihibur dengan kerlip cahaya lampu kota, sambil menikmati santapan lokal yang murah meriah. Saya sendiri mampir di sebuah lesehan di kanan jalan, tepat sebelum papan lambang “Gunung Kidul Handayani”. Saya duduk di lantai 2 lesehan, sehingga mendapat pemandangan optimal ke arah kota dan bisa juga hunting foto lampu kendaraan yang melintasi jalan raya.
    Tujuan utama kunjungan ke Gunung Kidul kali ini adalah atraksi matahari terbenam di Embung Nglanggeran. Untuk sampai kawasan ini ikuti saja marka jalan, karena memang sinyal akan agak susah di tengah kawasan perbukitan. Sebagian besar jalanan dalam kondisi aspal mulus, tapi ketika memasuki kawasan Gunung Purba Nglanggeran bersiaplah dengan kondisi jalan tanah berbatu dan gelap dan menanjak, beruntung saat saya datang tidak sedang hujan.
    Embung Nglanggeran terletak di puncak bukit dengan pemandangan ciamik, di depannya adalah Yogyakarta berselimut kabut, di belakangnya adalah pegunungan purba, lengkap dengan udara sejuk dan masih alami. Parkir kendaraan terletak di dekat puncak, jadi hanya perlu menaiki sedikit tangga sudah sampai di Embung Nglanggeran. Embung ini sendiri adalah semacam kolam buatan yang diresmikan tahun 2013, namun baru setahun belakangan ini memang menjadi primadona karena banyaknya foto di media sosial seperti Instagram.
     Biaya:
     Tidak ada biaya masuk kawasan Bukit Bintang, hanya biaya parkir.
     Tiket masuk Embung Nglanggeran Rp10.000,00; Parkir Rp2.000,00
     Tips:
    Usahakan tidak datang di musim hujan, karena jalanan akan lebih licin, apalagi ketika menanjak menuju lokasi. Selain itu ketika mendung, tidak akan mendapat keindahan sunset dari puncak Embung, meski tanpa sunset tempat ini memang sudah indah.
     Foto:
 
Indonesia Banget, mie goreng dan keindahan alam Bukit Bintang

Lalu lalang kendaraan malam hari di Bukit Bintang

Kerlip lampu ibu kota di malam hari

tiket masuk kawasan Embung Nglanggeran

berlatar Gunung Purba Nglanggeran

menunggu sunset, salah satu spot terbaik di Yogyakarta

6.  Punthuk Setumbu dan Bukit Rhema (Gereja Ayam)
     Kata seorang teman, kedua tempat ini menjadi sangat populer karena menjadi lokasi syuting film AADC 2, makanya meski lokasinya adalah mendaki puncak bukit dengan jalan tanah dan lumpur, sangat banyak pemuda-pemudi yang berkunjung dengan pakaian modis, saya sendiri memakai sendal jepit karena sudah memperkirakan kondisinya pasti agak kotor.
    Di luar dugaan saya, Bukit Punthuk Setumbu sudah dikelola dengan profesional, dengan loket penjualan tiket, tangga buatan (tak sampai 100 tapi cukup menanjak dan menguji stamina), dan banyak penjaga areal mulai parkir hingga ke puncak. Sesuai saran dari internet, saya berangkat dari Yogyakarta sekitar pukul 03.30 pagi menyusuri jalur Yogyakarta-Magelang. Hanya berbelok sekali ke kiri saat ada petunjuk jalan “Borobudur”, selanjutnya ikuti jalan utama sampai ke Candi Borobudur. Nah di sekitar Candi akan banyak tukang ojek yang berjaga saat subuh, untuk mengantar pengunjung ke lokasi parkir Punthuk Setumbu dengan biaya Rp20.000,00. Lokasi parkir kira-kira 4 km dari Candi Borobudur, masuk ke areal pedesaan dengan kondisi jalan yang sangat baik.
     Dari area parkir, mendaki kira-kira 15 menit sampailah di puncak bukit Punthuk Setumbu, dengan pemandangan Candi Borobudur di sisi timur lengkap dengan selimut kabut yang hari itu tak mau lepas sama sekali dari pukul 5 hingga 7 pagi. Areal puncak bukit cukup luas untuk menampung 100 orang pengunjung, dan ada beberapa penjual makanan ringan, serta ada rumah pohon (berbayar) untuk pemandangan yang lebih indah lagi. Awalnya bukit ini terkenal di kalangan wisatawan asing untuk melihat matahari terbit, tapi saat ini malah dipenuhi wisatawan lokal.
     Dari Punthuk Setumbu, apabila berjalan ke arah Utara mengikuti jalan tanah, sekitar 20 menit akan sampai ke Bukit Rhema yang terkenal dengan Gereja Ayam-nya. Gereja ini baru buka pukul 6 pagi, untuk bisa menikmati pemandangan dari puncak kepala “Ayam” dengan view 360 derajat perbukitan berkabut dan kalau beruntung melihat semburat kemerahan langit setelah matahari terbit. Dari Bukit Rhema, ada jalan sudah disemen menuju ke parkiran, tap parkiran ini masih sekitar 1 km dari parkiran Punthuk Setumbu, jadi saya saat itu karena sudah kelelahan, memutuskan naik ojek saja yang bersliweran di sekitar lokasi.
     Biaya Punthuk Setumbu:
     Tiket masuk Rp15.000,00; Parkir Rp2.000,00; Ojek ke lokasi Rp20.000,00
     Biaya Bukit Rhema:
     Tiket masuk gereja Rp10.000,00; Ojek ke parkir Punthuk Setumbu Rp10.000,00
     Tips:
     Karena yang menjadi andalan bukit ini adalah sunrise, maka pastikan Anda sudah ada di lokasi 30 menit sebelum jadwal matahari terbit sekitar pukul 05.30 sd. 05.55 setiap harinya. Tentu saja cuaca akan sangat berpengaruh, saya sendiri gagal melihat sunrse karena mendung begitu pekat. Bahkan teman saya sudah 3 kali ke bukit dan tetap gagal. Untuk di puncak Gereja Ayam, sebaiknya lakukan secara bergiliran, karena puncaknya sempit dan takutnya akan jebol andai terlalu banyak orang yang berfoto di sana.
     Foto:
 
tiket masuk Punthuk Setumbu, sudah buka mulai 03.00

Borobudur dari puncak Punthuk Setumbu

jalanan asri dari Punthuk Setumbu menuju Borobudur

tiket masuk dalam Gereja Ayam

view dari atas mahkota Gereja Ayam

Ini Gereja, dan berbentuk ayam, biasanya berselimut kabut

7.  Candi Borobudur
    Akhirnya saya sampai di Candi Borobudur, salah satu dari 7 keajaiban dunia lama, Candi Budha terbesar di dunia. Dari Punthuk Setumbu sangat mudah menuju Candi Borobudur, tinggal mengikuti petunjuk jalan dan ikuti jalan utama. Untuk masuk kawasan candi, hanya diperbolehkan mobil dan bus, sedangkan sepeda motor harus parkir di parkiran umum di luar kawasan.
    Candi Borobudur juga menawarkan paket wisata sunrise yang dikelola oleh Hotel Manohara, tapi harganya cukup mahal yakni Rp250.000,00 untuk lokal dan lebih mahal lagi untuk wisatawan asing, sedangkan candinya sendiri baru buka pukul 6 pagi. Kawasan Candi Borobudur memang cukup luas, tapi suasana yang asri dan udara sejuk membuat tak terasa jalan menuju candi.
    Di dalam candi, diatur bahwa pengunjung naik dari pintu timur untuk kemudian berputar searah jarum jam dalam melihat mural di sepanjang dinding candi, sedangkan turun dari pintu Barat dan Utara. Sayangnya banyak sekali pengunjung yang tidak membaca atau malah tidak peduli dengan aturan, sehingga mengitari candi berlawanan arah jarum jam, dan naik dari pintu Barat dan Utara, mereka yang melannggar ini rata-rata masih muda dan rasanya tidak buta huruf. Di puncak candi, terdapat Stupa yang merupakan areal sakral dan banyak petugas candi memberikan peringatan untuk tidak menaiki atau memanjat Stupa, tapi tetap saja anak-anak muda banyak sekali yang melanggar dan harus ditegur oleh petugas. Sekali lagi, mereka bukan tidak tahu, hanya tidak peduli.
     Biaya:
     Tiket masuk lokal Rp30.000,00; Parkir Rp5.000,00
     Tips:
     Parkir di areal belakang candi, karena seperti saya parkir di areal depan pintu masuk, maka ketika keluar dari candi akan membutuhkan kira-kira 700 meter berjalan kaki, dalam kondisi setelah lelah menyusuri Candi Borobudur yang bertingkat.
    Tips tambahan bagi Anda yang melakukan wisata sunrise di Punthuk Setumbu dan berlanjut ke Candi Borobudur, persiapkanlah batere kamera dengan baik, karena kamera saya sudah kehabisan batere belum sampai di puncak Borobudur, terlalu banyak terpakai saat menunggu sunrise di puncak bukit.
     Foto:
 
tiket elektronik masuk Candi Borobudur

petunjuk cara menaiki candi terpampang di luar

beberapa rombongan ramai mengunjungi sedari pagi

seperti dahulu kala, kini pun masih sangat asri dan sejuk

Stupa sakral dan dilarang memasukkan tangan

Hikmah dari kunjungan selama 4 hari di Yogyakarta kali ini bagi saya adalah bahwa pariwisata memang salah satu jalan agar masyarakat bisa keluar dari kemiskinan. Kawasan Gunung Kidul begitu berkembang seiring dengan makin tingginya animo wisata, didukung media sosial seperti Instagram yang menjadi motor promosi kawasan wisata baru, bahkan lebih cepat daripada Pemerintah Daerah bisa mengakomodir kawasan wisata tersebut. Saya juga tak berkeberatan harus membayar ojek, atau parkir, atau becak, selama berwisata karena itu adalah salah satu bentuk kontribusi kita kepada masyarakat lokal yang memang seharusnya merasakan imbas positif dari kemajuan pariwisata, tak hanya merasakan sampah, kencing, dan kemacetannya.

Selamat berwisata, jangan lupa buang sampah pada tempatnya, dan hargailah kearifan lokal.

No comments:

Post a Comment