“Video killed the radio stars, pictures came and broke your heart”
The Buggles, 7 September 1979
Video Klip lagu ‘Video Killed The Radio Stars’ dari band The Buggles menjadi video musik pertama yang tayang di MTV tahun 1981. Lirik dalam lagu itu seakan menandai era MTV yang akan menjadi raja dunia hiburan, dan ‘membunuh’ bisnis radio. Beralih 42 tahun kemudian ke akhir Mei 2023 saat tulisan ini dibuat, saya sedang mendengarkan Radio Prambors melalui Prambors Radio Apps. Duet penyiar ‘Sunset Trip’ Genus dan Julio sedang menjelaskan mekanisme lomba, yang hadiahnya adalah Prambors akan adakan pensi (pentas seni) gratis untuk sekolah pemenang dengan bintang tamu diantaranya Lomba Sihir, Dere, dan GAC. Radio still alive and kicking today!
tampilan Prambors Radio Apps |
Tak bisa dipungkiri, bisnis radio memang mengalami pasang surut selama
beberapa dekade ini. Di awal kemunculannya, MTV memang mengambil pusat
perhatian dunia hiburan dari radio, terutama status rockstar penyiar radio yang kalah dengan VJ MTV. Surutnya
popularitas penyiar radio tak berbanding lurus dengan bisnis radio itu sendiri,
meski di awal era 80-an sempat menurun, di tahun 90-an radio terus tumbuh dan
berkembang. Iklan yang semakin banyak masuk, termasuk adlibs dan event off-air yang
sangat menguntungkan.
Saya tumbuh dengan mendengarkan radio nyaris setiap hari. Kebetulan
keluarga kami punya pemancar radio amatir yang cukup tinggi, sehingga meski di
Singaraja mampu menangkap siaran Radio CDBS Denpasar. Program CDBS di akhir
90-an yang kami sekeluarga paling gemari yakni ‘Kupel 3 in 1’, kuis pelajar
dengan 3 soal acak dan berhadiah uang tunai, saya bahkan masih ingat musik
pengiring kuisnya hingga saat ini! Pun juga lagu tema CDBS yang dinyanyikan
oleh Chrisye (memang kaya radio satu ini) dengan lirik andalan “hangatnya sinar
mentari, dan indahnya pasir di pantai, terciptalah Bali eksotik, semua milik
kita”. Ah, nostalgia!
Radio CDBS memang keren, tapi adalah Radio Guntur, radio asli dari
Singaraja yang menjadi radio favorit keluarga kami dari dulu hingga kini. Radio
Guntur sudah menjadi soundtrack
kehidupan kami, karena nyaris selalu diputar saat pagi bersiap ke sekolah,
siang saat pulang sekolah dan menunggu makan siang dimasak Ibu, dan malam hari
saat bersantai pun belajar dan mengerjakan PR. Tak jarang kami dengarkan Guntur
hingga detik terakhir yakni pukul 12 malam, dan biasanya kami matikan saat intro
lagu penutup siaran ‘Selamat Malam’ dari Vina Panduwinata terdengar. Lagu ‘Selamat
Malam’ selama bertahun-tahun digunakan sebagai tanda siaran berakhir, tapi kami
takut mendengarnya karena lagu itu kebetulan adalah OST dari filmnya Suzzana ‘Malam
Satu Suro’ yang sangat seram!
Sebagai pendengar setia radio, saya jadi tahu ternyata bukan video musuh
besar radio, tapi Pandemi Covid-19! Perubahan perilaku drastis dari masyarakat
yang sebelumnya menghabiskan banyak waktu di perjalanan sembari mendengar
radio, berubah menjadi berdiam diri di rumah dan memiliki banyak waktu luang.
Radio yang keunggulannya adalah menjadi musik latar yang tak perlu didengarkan
dengan perhatian penuh, cukup ada dan mengalun menemani kesibukan pendengarnya,
ditinggalkan saat pandemi terjadi. Pendengar yang tiba-tiba punya waktu luang
sangat banyak, memilih media lain yang bisa mereka beri fokus penuh, dan
tibalah masa kejayaan Youtube dan podcast.
Banyak youtuber dan podcaster yang meraih pengikut berlipat
ganda berkat pandemi, berbanding terbalik dengan radio yang ditinggalkan
pendengar dan sekaligus pengiklan.
Radio mengandalkan iklan sebagai pemasukan utama, tanpa iklan maka radio
akan mati. Pengiklan mengalihkan dana promosinya ke Youtube dan podcast saat pandemi, belum lagi bisnis
sedang tidak baik-baik saja, sehingga pengiklan juga harus melakukan efisiensi
belanja iklannya. Pengusaha radio berada pada posisi yang sangat sulit, apabila
hentikan siaran maka channel mereka
akan disita oleh pemerintah untuk dilelang ulang, tentunya ini mimpi buruk
karena lelang ulang berarti biaya tambahan belum lagi suatu channel sudah dikenal lama oleh
pendengar dan sudah dibuat aneka jargon oleh radio. Apabila tetap mengudara,
maka biaya operasionalnya harus ditanggung oleh pemilik radio, kerugian sudah
di depan mata. Pelik!
Solusi yang diambil oleh sebagian besar radio adalah menjalankan prinsip sekali mengudara tetap
mengudara! Mengandalkan lagu-lagu lama yang mereka miliki, meminimalisir program
yang memerlukan penyiar, radio berubah menjadi siaran non-stop hits. Dari kakak saya yang dulu sempat bekerja di Radio
Guntur, saya jadi tahu bahwa lagu yang diputar di radio harus dibeli dari
perusahaan rekaman, tidak bisa memutar lagu hasil download atau dari CD lagu yang dibeli di toko. Radio mampu
menghemat pengeluaran selama pandemi dengan mengurangi hingga tidak
melakukan pembelian lagu, sekaligus memotong drastis gaji penyiar radio yang
biasanya dibayar per jam siaran.
Pandemi selalu memaksa manusia berubah, terbaru pandemi Covid-19 yang mampu mempercepat digitalisasi dalam setiap aspek kehidupan, termasuk siaran radio. Radio yang sebelumnya setengah hati membuat kanal streaming, dipaksa fokus mengembangkan tampilan website yang lebih bagus dan akhirnya membuat radio apps tersedia untuk semua jenis gawai. Biaya investasi untuk digitalisasi ini terbayar dengan masuknya kembali pengiklan secara bertahap, bersamaan dengan mulai meredanya pandemi.
Radio telah menemani saya sejak masih TK hingga kini belasan tahun di dunia kerja. Dari era mendengar siaran drama silat Saur Sepuh dengan sebuah radio butut di bawah lampu penerang jalan bersama tetangga, hingga menemani perjalanan berkendara ke kantor berbekal headset dan radio apps-nya. Mendengarkan saat radio menjadi non-stop hits yang sejujurnya sangat saya nikmati, tapi saya juga tak keberatan mendengar obrolan penyiar dengan adlibs menyelingi. Radio cerahkan hidup saya, semoga tetap mengudara selamanya!
Radio keluarga kami, puluhan tahun menemani |
No comments:
Post a Comment